Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.96.1
Konten dari Pengguna
Istishab: Pengertian, Macam-Macam, dan Contoh Penerapannya
25 Maret 2021 16:01 WIB
·
waktu baca 4 menitDiperbarui 11 Juli 2023 11:03 WIB
Tulisan dari Berita Hari Ini tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Dalam Islam , istishab adalah upaya mendekatkan satu peristiwa hukum dengan peristiwa lainnya sehingga keduanya dinilai sama hukumnya. Hakikat dari istishab adalah tetap memberlakukan hukum yang telah berlaku sebelumnya selama belum ada yang mengubahnya.
ADVERTISEMENT
Mengutip jurnal Istishab dan Hukumnya dalam Islam oleh Ridwan, istishab pada dasarnya merupakan suatu metode penemuan hukum berdasarkan hukum yang sudah ada sebelumnya selama belum ada dalil (bukti hukum) baru yang menyatakan sebaliknya.
Untuk memahami lebih jelas, artikel ini akan membahas lebih lanjut mengenai istishab, mulai dari unsur-unsur, macam-macam, hingga kedudukan istishab sebagai sumber hukum Islam.
Unsur-Unsur Istishab
Konsep istishab sebagai metode hukum mengandung tiga unsur pokok, yaitu:
1. Waktu
Istishab menghubungkan tiga waktu sebagai satu kesatuan yaitu waktu lampau, sekarang, dan yang akan datang. Ketiganya dalam istishab dianggap sama nilainya sampai terbukti ada perubahan karakteristik hukum yang melekatnya.
2. Ketetapan Hukum
Ada dua ketetapan hukum, yaitu ketetapan hukum boleh (isbat) dan ketetapan hukum yang tidak membolehkan (nafy).
ADVERTISEMENT
3. Dalil
Istishab sebagai metode penetapan hukum berpusat pada pengetahuan seseorang atas dalil hukum. Pengetahuan inilah yang menjadi kerangka dasar dalam menetapkan posisi hukum asalnya.
Macam-Macam Istishab
Mengutip buku Ushul Fiqh Kajian Hukum Islam oleh Iwan Hermawan (2019: 98), Abu Zahrah membagi istishab menjadi empat macam, yaitu:
1. Istishab Al-Ibabah Al-Ashliyah
Istishab yang didasarkan pada hukum asal, yaitu mubah (boleh). Penerapan kaidah ini banyak terkait dengan masalah-masalah muamalah, seperti terkait makanan dan minuman.
Selama tidak ada dalil yang melarangnya, maka hal tersebut diperbolehkan. Sebab, pada dasarnya segala sesuatu di bumi ini diperuntukan oleh Allah bagi kehidupan manusia.
2. Istishab Al-Baraah Al-Ashliyyah
Istishab ini berdasarkan prinsip bahwa pada dasarnya manusia bebas dari taklif (beban), sampai adanya dalil yang mengubah status tersebut. Atas dasar ini, manusia bebas dari kesalahan sampai ada buktinya.
ADVERTISEMENT
3. Istishab Al-Hukmi
Didasarkan atas tetapnya hukum yang sudah ada sampai ada dalil yang mencabutnya. Contohnya, seseorang yang sudah jelas melaksanakan akad pernikahan, maka status pernikahan tersebut berlaku sampai terbukti adanya perceraian.
4. Istishab Al-Washfi
Istishab yang didasarkan atas anggapan tetapnya sifat yang ada dan diketahui sebelumnya, sampai ada bukti yang mengubahnya. Misalnya, sifat air yang diketahui suci sebelumnya akan tetap suci sampai ada bukti yang menunjukkan air itu menjadi najis.
Contoh Penerapan Istishab
Adapun beberapa contoh penerapan istishab, di antaranya:
Bidang Hukum Pidana
Dalam hukum pidana, konsep istishab sangat relevan dengan asas praduga tak bersalah, di mana seorang terdakwa ketika menjalani proses peradilan dianggap tidak bersalah sampai ada bukti hukum material bahwa orang tersebut dinyatakan bersalah oleh pengadilan.
ADVERTISEMENT
Bidang Hukum Perdata
Penerapan konsep istishab dalam hukum perdata berlaku dalam bidang perikatan ekonomi , bahwa pada dasarnya setiap orang bebas dari segala tanggungan berupa kewajiban perdata.
Misalnya, jika seorang penggugat melaporkan tergugat ke pengadilan dengan gugatan untuk melunasi utangnya, tergugat berhak untuk menolaknya hingga penggugat mampu membuktikan di pengadilan.
Hukum Perkawinan
Jika menuruti konsep istishab, praktik nikah siri dianggap tidak pernah. Sebab, sesuai dengan Undang-Undang Perkawinan yang menyatakan bahwa suatu perkawinan baru dinyatakan sah secara hukum negara jika dapat dibuktikan dengan akte nikah melalui pencatatan perkawinan.
Bukti sah tersebut sekaligus menjadi tanda lahirnya hak dan kewajiban baru bagi pasangan suami istri.
Kedudukan Istishab
Pada umumnya, para ulama ushul fiqh berbeda pendapat tentang kedudukan istishab sebagai sumber hukum Islam. Dikutip dari Fikih Madrasah Aliyah Kelas XII oleh Mundzier Suparta, dkk., (2016: 60-61), pendapat para ulama tentang kedudukan istishab, yaitu:
ADVERTISEMENT
1. Istishab sebagai Pedoman dalam Menentukan Hukum Islam
Menjadikan istishab sebagai pegangan dalam menentukan hukum suatu peristiwa yang belum ada hukumnya, baik dalam Alquran, sunnah, maupun ijma.
Ulama yang termasuk kelompok ini adalah Syafi'iyah, Hambaliyah, Malikiyah, Dhahiriyah, dan sebagian kecil dari ulama Hanafiyah. Dalil yang mereka jadikan alasan untuk ini, yaitu:
إِنَّ الظَّنَّ لَا يُغْنِي مِنَ الْحَقِّ شَيْئًا إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ بِمَا يَفْعَلُوْنَ.
Artinya: "Sesungguhnya dugaan itu tidak sedikit pun berguna untuk melawan kebenaran. Sungguh, Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan." (QS. Yunus: 36)
Berdasarkan kepada dalil di atas, para ulama menetapkan kaidah-kaidah fikih sebagai berikut:
ADVERTISEMENT
2. Menolak Istishab sebagai Pegangan dalam Menetapkan Hukum Islam
Sebagian ulama lainnya menolak istishab sebagai pegangan dalam menentukan hukum Islam. Ulama golongan kedua ini kebanyakan adalah ulama Hanafiyah.
Mereka menyatakan bahwa istishab seperti yang disebutkan di atas adalah tanpa dasar dan menolaknya untuk menetapkan hukum baru.
(ADS & SFR)