Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.100.2
15 Ramadhan 1446 HSabtu, 15 Maret 2025
Jakarta
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna
Ketentuan Jarak Tempuh Musafir untuk Tidak Puasa sesuai Fiqih Islam
13 Maret 2025 11:00 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Berita Hari Ini tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Dalam Islam, seseorang yang sedang dalam perjalanan jauh atau musafir diberikan keringanan untuk tidak berpuasa di bulan Ramadan. Namun, ada batasan tertentu mengenai jarak tempuh musafir untuk tidak puasa agar seseorang dapat mengambil keringanan ini.
ADVERTISEMENT
Lantas, berapa jarak yang diperbolehkan bagi seorang musafir untuk meninggalkan puasa? Simak penjelasan lengkapnya dalam artikel berikut ini.
Ketentuan Jarak Tempuh Musafir untuk Tidak Puasa
Musafir adalah orang yang sedang melakukan perjalanan jauh. Dalam fiqih Islam, musafir diberikan keringanan untuk tidak berpuasa selama bulan Ramadan.
Dikutip dari buku Fikih Madrasah Tsanawiyah Kelas VIII oleh H. Ahmad Ahyar dan Ahmad Najibullah, para ulama sepakat bahwa jarak tempuh yang membolehkan seseorang dianggap sebagai musafir dan mendapatkan keringanan untuk tidak berpuasa adalah sekitar 80,64 km.
Jarak ini didasarkan pada ukuran perjalanan yang umumnya memerlukan waktu dan usaha yang cukup berat, sehingga Islam memberikan keringanan untuk mereka yang melakukan perjalanan ini agar tidak menghadapi kesulitan atau beban yang berlebihan dalam menjalankan ibadah puasa.
ADVERTISEMENT
Akan tetapi, apabila musafir merasa kuat dan mampu berpuasa tanpa kesulitan, ia boleh tetap berpuasa. Sebaliknya, jika puasa memberatkan atau mengganggu aktivitas perjalanannya, lebih baik tidak berpuasa.
Puasa yang ditinggalkan selama menjadi musafir wajib diganti pada hari lain setelah Ramadan. Misalnya, jika seseorang tidak berpuasa selama 5 hari karena safar, ia harus mengganti 5 hari tersebut di waktu yang memungkinkan. Hal ini didasarkan pada firman Allah dalam Surah Al-Baqarah ayat 184:
فَمَن كَانَ مِنكُم مَّرِيضًا أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
"Maka barang siapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain..." (QS. Al-Baqarah: 184).
ADVERTISEMENT
Namun, jika seseorang tidak mampu mengganti puasa yang ditinggalkan karena uzur syar'i (seperti sakit berkepanjangan), ia wajib membayar fidyah, yaitu memberi makan satu orang miskin untuk setiap hari puasa yang ditinggalkan.
Keringanan ini merupakan bentuk rahmat (kasih sayang) dari Allah SWT kepada hamba-Nya, karena Islam adalah agama yang tidak memberatkan umatnya. Allah SWT berfirman dalam Al-Qur'an:
يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ
"Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu." (QS. Al-Baqarah: 185).
Golongan yang Diberikan Keringanan untuk Tidak Berpuasa
Selain musafir, ada beberapa golongan yang diberikan keringanan (rukhsah) untuk tidak berpuasa di bulan Ramadan. Namun, mereka tetap memiliki kewajiban tertentu, seperti mengganti puasa atau membayar fidyah, tergantung pada kondisinya.
ADVERTISEMENT
Dirangkum dari buku 30 Fatwa Seputar Ramadhan oleh H. Abdul Somad, Lc., MA, berikut adalah kelompok yang diberikan keringanan untuk tidak melaksanakan ibadah puasa:
1. Orang yang Sakit
Seseorang yang sedang sakit dan merasa bahwa puasa dapat memperparah kondisinya atau memperlambat kesembuhannya diperbolehkan untuk tidak berpuasa. Jika penyakitnya bersifat sementara dan masih bisa sembuh, maka wajib mengganti puasa di hari lain setelah Ramadan.
Namun, bagi yang menderita penyakit kronis dan tidak memungkinkan untuk berpuasa dalam jangka panjang, mereka diwajibkan membayar fidyah, yaitu memberikan makanan kepada orang miskin untuk setiap hari puasa yang ditinggalkan.
2. Orang Tua Renta atau Lemah
Lansia yang sudah tidak memiliki kekuatan fisik untuk berpuasa diberikan keringanan untuk tidak berpuasa di bulan Ramadan. Mengingat kondisi mereka yang tidak memungkinkan untuk mengganti puasa di kemudian hari, maka sebagai gantinya, mereka diwajibkan membayar fidyah dengan memberi makan orang miskin sesuai jumlah hari yang mereka tinggalkan.
ADVERTISEMENT
3. Wanita Hamil dan Menyusui
Bagi wanita yang sedang hamil atau menyusui, diperbolehkan untuk tidak berpuasa jika mereka merasa khawatir akan kesehatan dirinya atau bayinya.
Jika tidak berpuasa hanya karena kekhawatiran terhadap kesehatan bayi, maka wanita tersebut wajib mengganti puasa di hari lain sekaligus membayar fidyah. Namun, jika yang dikhawatirkan adalah kondisi kesehatannya sendiri, maka cukup mengganti puasa tanpa membayar fidyah.
4. Wanita yang Haid dan Nifas
Wanita yang sedang mengalami haid atau nifas dilarang untuk berpuasa selama bulan Ramadan. Ini adalah ketentuan syariat yang wajib ditaati oleh setiap Muslimah. Sebagai gantinya, mereka diwajibkan untuk mengganti puasa di bulan lain sebelum datangnya Ramadan berikutnya.
(SAI)