Konten dari Pengguna

Mengenal Apa Itu Hari Raya Galungan dan Kuningan beserta Tradisinya

Berita Hari Ini
Menyajikan informasi terkini, terbaru, dan terupdate mulai dari politik, bisnis, selebriti, lifestyle, dan masih banyak lagi.
4 Januari 2023 10:14 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Berita Hari Ini tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Umat Hindu mengikuti sembahyang Hari Raya Galungan di Pura Agung Sriwijaya, Palembang, Sumatera Selatan, Rabu (8/6/2021). Foto: Nova Wahyudi/ANTARA FOTO
zoom-in-whitePerbesar
Umat Hindu mengikuti sembahyang Hari Raya Galungan di Pura Agung Sriwijaya, Palembang, Sumatera Selatan, Rabu (8/6/2021). Foto: Nova Wahyudi/ANTARA FOTO
ADVERTISEMENT
Hari Raya Galungan dan Kuningan merupakan dua perayaan yang sangat penting bagi umat Hindu di Bali. Kata Galungan berasal dari bahasa Jawa kuno "dungulan" yang berarti menang atau bertarung.
ADVERTISEMENT
Tujuan dari perayaan ini untuk merayakan kemenangan dharma (kebenaran) atas adharma (kebatilan). Mengutip buku Pendidikan Toleransi Sasak Muslim di Bali karya Dr. Lalu Khotibul Umam (2021), perayaan Galungan dan Kuningan ditentukan berdasarkan Pawukon dan Sasih.
Di wilayah Jawa, wuku kesebelas lebih dikenal dengan istilah Wuku Galungan, sedangkan di Bali dan Mataram lebih dikenal dengan istilah Wuku Dungulan. Meskipun berbeda, kedua istilah ini memiliki persamaan makna.
Umat Hindu di Bali biasanya merayakan Hari Raya Galungan dan Kuningan dengan melakukan sembahyang di pura. Bagaimana tradisinya? Untuk mengetahuinya, simaklah penjelasan dalam artikel berikut ini.

Tradisi Hari Raya Galungan dan Kuningan

Umat Hindu mengikuti persembahyangan Hari Raya Galungan di Pura Aditya Jaya, Rawamangun, Jakarta, Rabu (8/6/2022). Foto: Aprillio Akbar/ANTARA FOTO
Berdasarkan penanggalan Bali-Jawa, Hari Raya Galungan diselenggarakan setiap 6 bulan, tepatnya pada hari Rabu Kliwon wuku Dungulan. Kemudian, 10 hari setelahnya umat Hindu akan merayakan Hari Raya Kuningan.
ADVERTISEMENT
Galungan dan Kuningan berlangsung selama 10 hari. Di momen spesial ini, umat Hindu akan meramaikan perayaannya dengan berbagai macam atribut seperti penjor yang terbuat dari bambu.
Penjor tersebut akan dipasang di sekeliling rumah menggunakan daun kelapa muda yang berwarna kuning. Selain itu, penjor juga bisa dibuat dari bahan daun pohon tuak muda.
Di Mataram, penjor seringkali ditemui dalam upacara agama Hindu, termasuk Hari Raya Galungan dan Kuningan. Munculnya penjor di kota ini merupakan peninggalan dari kerajaan Karang Asem Bali.
Dijelaskan dalam buku Penjor Sebagai Simbol Pencitaan Diri Umat Hindu di Kota Mataram karya I Wayan Sutama, penjor dimaknai sebagai persembahan atau ungkapan terima kasih kepada bumi pertiwi. Secara historis, tradisi ini membawa kepercayaan dan ritual keagamaan yang diwariskan secara turun temurun.
ADVERTISEMENT
Umat Hindu mengikuti sembahyang Hari Raya Galungan di Pura Agung Sriwijaya, Palembang, Sumatera Selatan, Rabu (8/6/2021). Foto: Nova Wahyudi/ANTARA FOTO
Tradisi lain dalam perayaan Hari Galungan dan Kuningan adalah mengundang keluarga dan sanak saudara. Tradisi ini dikenal dengan istilah saling besilak. Kemudian, ada juga tradisi saling joting atau saling ngejot yang mejadi simbol harmoni sosial.
Saling joting dilakukan dengan cara mengantar makanan. Tidak hanya saat perayaan Galungan dan Kuningan, tradisi ini juga dilangsungkan ketika ada warga yang menggelar hajatan atau perayaan keagamaan lainnya.
Mengutip buku Semerbak Dupa di Pulau Seribu Masjid karya Prof. Dr. Suprapto (2013), pada Hari Raya Galungan, mayoritas masyarakat Hindu akan menyembelih babi. Mereka biasa membuat olahan yang terbuat dari daging babi, salah satunya babi guling.
ADVERTISEMENT
Masyarakat Hindu juga akan mengenakan busana tradisional atau kebaya khas Bali. Kemudian, mereka akan menyanyikan lagu-lagu yang sesuai dengan tema perayaan.
Di Hari Raya Galungan dan Kuningan, umat Hindu sangat menghormati kehadiran para leluhur. Mereka akan mengadakan upacara di tempat-tempat suci dan menyediakan makanan atau minuman kepada para leluhur.
Upacara ini juga melibatkan pemasangan "sesajen" yang menjadi tanda-tanda keberkahan. Sesajen tersebut terdiri dari makanan, bunga, dan barang-barang lain yang ditempatkan dekat dengan tempat-tempat suci.
(MSD)