Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Sejarah Kebaya dari Masa ke Masa, Bagaimana Latar Belakangnya?
24 Juli 2024 10:58 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Berita Hari Ini tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Hari Kebaya Nasional diperingati setiap tanggal 24 Juli oleh masyarakat Indonesia. Ini kali pertama Hari kebaya dirayakan menyusul dikeluarkannya Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 19 Tahun 2023.
ADVERTISEMENT
Peringatan ini diawali dari inisiasi Komunitas Perempuan Berkebaya Indonesia. Lalu, usulan tersebut mendapatkan persetujuan dari Kementerian Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK).
Dijelaskan dalam buku Pesona Kebaya & Batik susunan Adi Kusrianto (2023), keputusan tersebut dilatarbelakangi keinginan untuk menumbuhkan rasa nasionalisme di tengah masyarakat Indonesia. Komunitas Perempuan Berkebaya Indonesia ingin membuat masyarakat memahami bahwa kebaya merupakan warisan budaya yang mengandung unsur etika dan estetika.
Kini, kebaya telah mengalami perkembangan desain dan model dengan konsep yang lebih modern. Untuk mengetahui sejarah kebaya di Indonesia, simak pembahasan lengkapnya dalam artikel berikut ini.
Sejarah Kebaya dari Masa ke Masa
Pada zaman dahulu, kebaya sering dipakai oleh wanita Melayu sebagai busana sehari-hari. Budayawan Prancis, Denys Lombard, mengatakan bahwa kebaya pertama kali diperkenalkan oleh bangsa Portugis di abad ke-16.
ADVERTISEMENT
Busana tradisional ini merupakan karya perpaduan antara budaya Eropa dan Arab. Persebaran agama Islam di Indonesia diduga juga turut andil dalam perkembangan tren kebaya di masyarakat umum.
Kala itu, wanita masih mengenakan kemben sebagai pakaian sehari-hari. Jenis pakaian ini dibuat tanpa atasan dan cenderung menampilkan lekukan dada.
Lalu, kehadiran kebaya pun diusulkan menjadi pakaian wanita Indonesia. Sebab, para pemuka agama menilai kebaya lebih sopan karena bisa menutupi beberapa bagian tubuh wanita dengan baik.
Seiring berjalannya waktu, kebaya semakin dikenal secara umum. Jenis pakaian ini dijadikan sebagai simbol untuk mengelompokkan kelas sosial masyarakat Indonesia dan Belanda.
Keluarga keraton dan bangsawan umumnya mengenakan kebaya yang terbuat dari bahan sutera, bludru, atau brokat. Sementara perempuan Belanda lebih sering menggunakan kebaya dari bahan katun.
ADVERTISEMENT
Pada abad ke-18, kebiasaan membuat baju kebaya yang semula dilakukan oleh perempuan Jawa priyayi, mulai menyebar di kalangan perempuan Indo-Belanda. Mereka memproduksi kebaya untuk dijual ke masyarakat luas.
Pada masa itu, ada dua jenis kebaya yang sering diproduksi, yakni kebaya encim dan kebaya putu baru (kebaya nyonya). Kebaya encim banyak dikenakan oleh perempuan keturunan China, sementara kebaya putu baru kerap dipakai oleh perempuan pribumi.
Biasanya, kebaya encim dihiasi dengan sulaman dan bordiran di bagian depannya. Sedangkan kebaya putu baru didesain dengan model tunik warna-warni dan memiliki motif cantik.
Mulanya, kebaya putu baru dibuat dengan panjang mencapai mata kaki. Namun, seiring berkembangnya zaman, panjang kebaya ini disesuaikan dengan kenyamanan pengguna. Hingga akhirnya, masyarakat menganggap panjang idealnya berada di bawah pinggul.
ADVERTISEMENT
Mengutip buku 50 Galeri Kebaya Eksotik nan Cantik karya Ferry Setiawan (2009), ketika memasuki era penjajahan Jepang, popularitas kebaya mulai memudar. Sebab, konflik yang muncul di era Perang Dunia II membuat jalur perdagangan tekstil terputus. Alhasil, produksi kebaya pun semakin merosot.
Terlebih, pemerintah kolonial Jepang bersikap semena-mena terhadap masyarakat Indonesia. Mereka menjadikan kebaya sebagai seragam bagi perempuan Indonesia yang ditahan di camp tawanan perang.
(MSD)