Hakikat Hubungan antara Hati dan Akal Menurut Imam Al Ghazali

Berita Terkini
Penulis kumparan
Konten dari Pengguna
21 Oktober 2022 18:28 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Berita Terkini tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi fungsi hati dan akal menurut Imam Al Ghazali. Foto: pexels.com/shihabnymur/
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi fungsi hati dan akal menurut Imam Al Ghazali. Foto: pexels.com/shihabnymur/
ADVERTISEMENT
Manusia adalah mahkluk yang memiliki derajat tinggi dibandingkan makhluk lain. Hal tersebut karena manusia memiliki pikiran dan budi pekerti dalam akal dan hatinya. Akan tetapi banyak manusia yang kesulitan dalam memahami makna keduanya. Akibatnya adalah manusia akan lebih condong dalam salah satu sisi. Padahal sejak dahulu para ulama sudah menjelaskan hubungan antara hati dan akal, misalnya Imam Al Ghazali. Berikut hakikat hubungan antara hati dan akal menurut Imam Al Ghazali.
ADVERTISEMENT

Biografi Imam Al Ghazali

M. Kamalul Fikri, S.Th.I., M.A. dalam bukunya berjudul Imam Al-Ghazali (2022:13), Al-Ghazali atau Algazel merupakan sebutan populer untuk Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad at-Thusy. la kemudian juga dikenal dengan nama kunyah Abu Hamid yang berarti bapak Hamid. Namun demikian, kunyah tersebut tidak pasti berarti bahwa Al-Ghazali memiliki anak laki-laki yang diberi nama Hamid.
Data yang ditemukan menunjukkan bahwa hanya putri-putri Al-Ghazali yang hidup sampai ia meninggal. Selain itu, Al-Ghazali juga memiliki beberapa nama julukan, yakni Al-Imam, Hujjatul Islam, Zainul 'Abidin, A'jubah az-Zaman, dan Al-Bahr.
Imam Al Ghazali lahir pada 450/1058, yakni sekitar empat setengah abad setelah Nabi Muhammad SAW hijrah dari Makkah ke Madinah, dan sekitar tiga puluh tahun setelah Dinasti Seljuk menduduki Baghdad. Abu Hamid lahir di Kota Thus, Provinsi Khurasan, Persia (Iran), sebuah kota miskin yang disebabkan kekeringan panjang sehingga penduduknya pun mengalami kelaparan selama beberapa tahun. Al-Ghazali diketahui dimakamkan Tabiran, Qasabah, Thus.
ADVERTISEMENT

Definisi Hati dan Akal Menurut Imam Al Ghazali

Hati berasal dari bahasa Arab qal-bun yang artinya jantung. Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), jantung adalah bagian tubuh yang menjadi pusat peredaran darah (letaknya di dalam rongga dada sebelah atas).
Definisi hati menurut Imam Al-Ghazali memiliki dua definisi, yakni:
Definisi hati pertama sebagai hati fisik yaitu daging yang berbentuk seperti buah shanaubar (bentuk bundar memanjang) yang terletak di bahagian kiri dada yang mana di dalamnya terdapat rongga-rongga yang menyalurkan darah hitam dan berperanan sebagai sumber nyawa manusia. Definsi hati yang pertama ini wujud pada hewan dan juga pada manusia yang telah mati.
Definisi hati kedua ditakrifkan hati sebagai hati spiritual yaitu sesuatu yang bersifat halus (lathifah) dan bersifat ketuhanan (rabbaniyyah). Hati dalam definisi kedua ini menggambarkan hakikat diri manusia yang mana hati berfungsi untuk merasai, mengenali dan mengetahui sesuatu perkara atau ilmu. Menurut beliau, hati fisik sangat berkait dengan hati spiritual. Namun, beliau tidak mengulas panjang berkenaan hubungan hati fisik dengan hati spiritual kerana itu termasuk di bawah ilmu mukasyafah.
ADVERTISEMENT
Sedangkan akal berasal dari bahasa Arab al-‘aql yang bersumber dari kata kerja ‘ain, qaf, dan lam yang artinya meningkat dan menawan. Kata al-‘aql juga sama dengan al-idrak (kesadaran), dan al-fikr (pikiran), al-hijr (penahan), al-imsak (penahanan), al-ribat (ikatan), al-man’u (pencegah), dan al-nahyu (larangan).
Menurut Imam Al Ghazali, akal merupakan salah satu substansi imaterial yang menunjuk esensi manusia. Akal adalah sesuatu yang halus yang merupakan hakikat manusia, sama dengan al-qalb, al-nafs, dan al-ruh, yang berbeda hanya namanya saja, bahkan akal adalah entitas jiwa yang terlibat dengan inteligensia yang dalam hal ini ia bisa juga disebut dengan ‘intelek’.
Ilustrasi hati dan akal berdasarkan wahyu Allah SWT. Foto: pexels.com/thirdman/

Fungsi Hati dan Akal Menurut Imam Al Ghazali

Imam Al Ghazali menyebutkan hati sebagai akal berlandaskan Al-Quran dan hadits. Sebagaimana firman Allah:
لَهُمْ قُلُوبٌ يَعْقِلُونَ بِهَا
ADVERTISEMENT
Artinya, “Mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami” (QS. Al-HajjL 46)
Akal maupun hati adalah satu entitas yang sama namun kedua istilah ini mempunyai karakteristik yang membedakan satu sama lain. Hati juga menerima kebenaran namun dalam urusan spiritual, sedangkan akal terbatas dalam urusan inteligensia. Ketika akal hanya berurusan dalam persoalan rasional-empiris, hati lebih menekankan pada sisi rasional-emosional-spiritual untuk memahami fenomena alam dan ayat-ayat Allah. Perbedaan kemampuan ini sejatinya untuk menggapai dua dimensi alam yang berbeda, yaitu alam indra (‘alam syahadah) dan alam supernatural (‘alam malakut atau ‘alam ghaib).
Selanjutnya, kemampuan hati dalam menjangkau alam metafisik selalu didukung oleh pengetahuan akal, namun pengetahuan ini tidaklah cukup menghindarkan hati dari kesalahan kecuali dengan menerima pengetahuan agama melalui ajaran para nabi.
ADVERTISEMENT
Adanya pengetahuan dari wahyu ini selanjutnya memberi konsekuensi pada hati untuk melaksanakan ajaran yang ada di dalam wahyu. Di sinilah peran hati, yaitu dia juga berakal dan mampu berpikir untuk membenarkan adanya tanzil wahyu. Sebab itu, orang yang tidak yang tidak menerima wahyu Allah, berarti hatinya tidak berakal (qulubun la ya’qilun) atau buta mata hatinya terhadaprealitas ayat-ayat Allah (ta’ma al-qulub).
Kelebihan hati atas akal adalah bahwa hati mampu melihat segala hakikat kebenaran. Akal hanya bisa menangkap pengetahuan secara terbatas, yaitu pengetahuan yang hanya bersifat rasional dan empiris melalui indra dan daya nalar, sedangkan hati mampu menangkap kebenaran pengetahuan secara tidak terbatas. Kemampuan yang tidak terbatas itu diperoleh dengan dzauq atau intuisi.
ADVERTISEMENT
Dengan dzauq ini hati dapat memperoleh ilm mukasyafah yang tidak bisa dilalui lewat akal. Namun kemampuan hati ini sering dihalangi oleh kotoran yang mengendap di hati, sehingga menghalanginya untuk menangkap realitas kebenaran.
Pada dasarnya, hati dan akal harus saling melengkapi satu sama lain, bukan untuk memenangkan salah satunya. Seseorang yang menggunakan hati dan akalnya dengan baik akan berperliaku dengan baik. Terlebih lagi jika mengikuti Al-Quran dan hadits terbebas dari kebutaan akan kebenaran.(MZM)