Konten dari Pengguna

Pandangan para Pendiri Bangsa terkait Isi Mukadimah UUD tentang Ketuhanan

Berita Terkini
Penulis kumparan
7 Juni 2023 17:19 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Berita Terkini tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Pandangan para Pendiri Bangsa Terkait Isi Mukadimah, Terutama Frasa Ketuhanan dengan Kewajiban       Foto:Unsplash
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Pandangan para Pendiri Bangsa Terkait Isi Mukadimah, Terutama Frasa Ketuhanan dengan Kewajiban Foto:Unsplash
ADVERTISEMENT
Dalam sejarah tercatat adanya kontroversi mengenai pandangan para pendiri bangsa terkait isi mukadimah, terutama frasa "Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya".
ADVERTISEMENT
Peristiwa ini terjadi di sidang BPUPKI pada 22 Juni 1945. Agenda sidang saat itu adalah menyusun dasar negara sebagai bagian dari persiapan kemerdekaan Indonesia.

Pandangan para Pendiri Bangsa Terkait Isi Mukadimah, Terutama Frasa Ketuhanan dengan Kewajiban

Ilustrasi Pandangan para Pendiri Bangsa Terkait Isi Mukadimah, Terutama Frasa Ketuhanan dengan Kewajiban Foto:Unsplash
Terdapat perbedaan pandangan para pendiri bangsa terkait isi mukadimah, terutama frasa "Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya". Berdasarkan buku Panorama Sejarah Islam dan Politik di Indonesia yang disusun oleh Faisal Ismail (2017:59), terjadi pertentangan terkait Islam yang dijadikan sebagai dasar negara di tengah beragamnya agama dan kepercayaan di Indonesia.
Dalam sidang BPUPKI pada tanggal 1 Juni 1945, Soekarno menyampaikan pidatonya berisi gagasan tentang Pancasila sebagai dasar negara. Saat itu, Soekarno tidak merujuk pada agama apa pun dalam sila pertama Pancasila.
ADVERTISEMENT
Menyusul pidato bersejarah Soekarno di sidang BPUPKI itu, sebuah Tim atau Panitia Kecil yang juga dikenal sebagai Tim Sembilan dibentuk. Tim Sembilan berhasil menyusun Piagam Jakarta sebagai rumusan Pancasila dan mukadimah UUD 1945 sebagai berikut:
Kalimat "dengan kewajiban menjalankan syariat bagi pemeluknya" segera menuai reaksi dan keberatan, khususnya dari kelompok Kristen. Mereka menganggap kalimat itu sebagai diskriminasi bagi kaum minoritas.
Sementara Fraksi Nasionalis Muslim merasa kalimat "dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya" adalah logis, karena sama sekali tidak akan mengurangi, apalagi mengganggu hak-hak kelompok non-muslim.
ADVERTISEMENT
Menghadapi persoalan yang sangat pelik dan serius ini, Hatta segera mengambil inisiatif untuk mengadakan pertemuan. Pertemuan ini menghasilkan kesepakatan yang berbunyi "Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa" menggantikan frasa "dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya".
Draf mukadimah UUD 1945 yang telah direvisi pada akhirnya disahkan dan kemudian dikenal sebagai UUD 1945. Jadi, rumusan baru sila pertama yang sekarang terdapat dalam UUD 1945 berbunyi "Ketuhanan Yang Maha Esa" menggantikan "Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya".
Perbedaan pandangan para pendiri bangsa terkait isi mukadimah, terutama frasa "Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya" dapat diselesaikan dengan cara kompromi. Penghapusan frasa Islamis merupakan solusi terbaik bagi persatuan dan integritas bangsa Indonesia.(DK)
ADVERTISEMENT