Struktur Cerpen: Pengertian, Fungsi dan Contohnya

Konten dari Pengguna
13 Juli 2021 16:59 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Berita Update tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Struktur Cerpen, sumber foto: https://pixabay.com/
zoom-in-whitePerbesar
Struktur Cerpen, sumber foto: https://pixabay.com/
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Pengertian cerita pendek atau cerpen adalah karya sastra berupa cerita fiksi yang dikemas dalam tulisan pendek, ringkas dan jellas. Biasanya cerita pendek atau cerpen ditulis sebanyak 1000 kata dan tidak melebihi sepuluh ribu kata. Kalau dalam syarat pengiriman cerpen ke media cetak atau kumpulan cerpen, satu cerpen ditulis dalam 5 sampai 7 halaman word. Apa saja yang perlu dipahami dalam membuat satu cerpen agar menarik untuk dibaca? Perlukah membuat struktur cerpen sebelum menuliskannya?
ADVERTISEMENT
Dari buku Rambu-rambu Menulis Cerpen, Ainun Masruroh (2017:20), dijelaskan cerita pendek atau cerpen sudah pasti memiliki struktur. Dan struktur cerpen meliputi: abstrak, orientasi, komplikasi, evaluasi, resolusi, dan koda. Bagaimana penjelasannya?

Struktur Cerpen: Fungsi dan Contohnya

Fungsi dari struktur cerpen adalah untuk menyusun elemen-elemen dasar yaitu abstrak, orientasi, komplikasi, evaluasi, resolusi dan koda menjadi suatu cerpen. Meski cerpen hanya berupa kisah singkat, namun ketika dituliskannya harus semenarik mungkin, karena pembaca hanya membaca dengan sekali duduk atau membaca cepat.
Berikut ini penjelasan struktur cerpen yang masih dikutip dari buku Rambu-rambu Menulis Cerpen.
sumber foto: pixabay.com
Berikut ini contoh cerita pendek atau cerpen yang berjudul Pekerja yang Hilang, yang sudah dipublikasikan di kumparan:
ADVERTISEMENT
“Hati-hati, pintu akan ditutup...”
Tak seperti biasanya, pagi ini begitu sepi. “Kemana para pekerja ini?” batinku. Seolah tak peduli dengan keadaan, aku terus melaju, meskti tak melangkah dalam arti sebenarnya.
Di sudut ruangan, kakek bertopi golf asyik dengan Walkmannya. Setelannya cocok dengan jidat yang mulai mengkerut. Barang 3 kursi disampingnya, seorang anak tengah asyik bermain robot-robotan bersama ibunya. Dihadapannya duduk lelaki berkaus yang hampir terlelap.
Aku terus saja memperhatikan sekelilingku. Kiranya ada yang aneh, tapi aku tak sadar kalau aku pun ada dalam keanehan itu.
Ruangan yang terus melaju ini biasanya sumuk, sumpek, berdesakan tak karuan. Ekspresi muka beremosi, bahagia dan murka, ada didalamnya. Lagi-lagi, aku masih tak sadar keadaan. Seolah kakiku mematung, entah kemana raga ini akan berujung.
ADVERTISEMENT
Ingatanku berkeliaran kala melihat wajah para penumpang. Sang anak tampak cerah, matahari bergelayut disekelilingnya. Bapak yang terlelap di hadapan anak itu terlihat keletihan. Oh, padahal ini masih pagi, loh. Awan hitam terus mengikutinya.
Hai kakek bertopi golf, sungguh, aku penasaran dengan keadaanmu sekarang. Apa rasanya menikmati hidup? Hingga kau tampak punya dunia sendiri. Wajahmu bersih seakan beban hidup terangkat. Dan terkadang akupun memikirkan masa depan.
Tiba-tiba kami berhenti. Pemberhentian yang tak direncanakan. Pemberhentian yang aku pun tak memprediksi. Tak ada dalam papan pengumuman. Oh iya, tampaknya aku terlalu lama memperhatikan sekeliling hingga aku lupa ini pemberhentian ketiga.
“Loh, kemana para pekerja itu?” pikirku lagi.
Tak ada yang masuk. Tak ada mimik terburu-buru itu. Tapi, mereka digantikan oleh beberapa orang, yang tampak sama. Mau apa mereka? Apa gerangan yang terjadi pada pekerja itu?
ADVERTISEMENT
Semerbak keriuhan di luar mulai tercium. Bau kebisingan. Semakin dekat orang-orang yang tampak sama itu, semakin kencang derau keriuhan tadi.
“Angkat tangan.”
“Loh, kenapa?”
Aku masih tak paham apa mau mereka.
“Kami perintahkan untuk segera keluar dari wilayah ini.”
Aku heran. Apa yang ada dalam pikiran mereka?
“Pak, saya gak bisa seenaknya memberhentikan gerbong ini. Lagian, saya juga belum sampai tujuan. Sebetulnya sebentar lagi, tapi ini bukan tujuan saya. Kenapa, sih?”
Kulihat kembali sekelilingku. Si anak dan ibunya makin memojok. Bapak yang keletihan itu melonjak, heran dan kaget. Sementara si kakek, ah siapa juga yang mau merusak dunianya?
Semakin dalam aku pandangi si kakek, semakin aku sadar. Oh, selama ini dia memakai topeng!
ADVERTISEMENT
“Kalau kamu tak mau keluar dari wilayah ini, baiklah, ikut saja dengan mereka,” sambil menunjuk ke sumber keriuhan tadi, dengan ujung laras panjangnya.
“Hei pak. Saya bilang saya belum sampai tujuan. Bapak ini kenapa, sih?”
“Kamu mau ke mana?”
“Pak, ada apa sih?”
“Kamu lihat di sana? Semua orang menuju ke tempat itu. Barangkali 100 orang kami gagalkan untuk tidak bergabung. Riuh, ramai, bising, hampir anarkis.”
“Loh, pak. Apa bapak kira semua orang akan ke sana? Saya butuh makan pak. Saya mau kerja.”
Mendengar keluhanku, bukannya dilepaskan, sedetik kemudian tanganku telah ditali. Aku masih belum paham.
Aku masih memperhatikan sekelilingku. Anak tadi, ibunya, bapak didepannya dan si kakek...
Ambruklah aku di ruangan sebelah gerbong ini. Desir kereta kalah dengan umpatan dan keluhan. Sesekali aku mendengar, “Pak tolong lah....”
ADVERTISEMENT
“Dik...” kata kakek itu. Terkejutlah diri ini tetiba si kakek ada di sebelahku.(IJS)