Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.102.2
Konten dari Pengguna
Anak Perlu Tahu Cara Tepat Mengekspresikan Emosi
11 Februari 2019 17:40 WIB
Diperbarui 21 Maret 2019 0:04 WIB
Tulisan dari Tim BASRA (Berita Anak Surabaya) tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Belajar dari Kasus Persekusi Siswa pada Guru di Gresik
ADVERTISEMENT
Aksi persekusi yang dilakukan siswa kelas IX SMP PGRI Wringinanom Gresik terhadap gurunya sudah berakhir damai. Siswa berinisial AA itu memilih untuk meminta maaf dan membuat surat pernyataan tidak akan mengulangi perbuatannya kepada Nur Kalim, guru IPS yang sempat ditantangnya berkelahi. Aksi persekusi yang dilakukan siswa terhadap guru bukanlah yang pertama. Mengapa aksi ini terus ada?

ADVERTISEMENT
Basra sempat mewawancara Eli Prasetyo, M.Psi, psikolog, dosen fakultas psikologi Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya (UKWMS). Menurut Eli, aksi persekusi yang dilakukan remaja mencerminkan ketaatan pada norma semakin berkurang. ’’Norma sosial itu menata tindakan seseorang bergaul dengan orang yang lebih tua, orang yang lebih muda, atau teman sebaya. Penerapan sopan santun ini yang mulai luntur,’’ kata Eli (11/2).
Ada beberapa faktor yang menyebabkan hal ini diantaranya pola asuh orang tua di rumah, pengaruh lingkungan sebaya, dan kurangnya pemahaman anak terhadap konsekuensi yang mereka hadapi atas tindakan-tindakan mereka. Sehingga sikap ’sok jagoan’ ini lahir dari cara mengekspresikan emosi yang salah.
’’Bisa juga karena dia melihat orang di rumah juga menyelesaikan masalah dengan cara sama. Modeling yang keliru memang bisa jadi pemicu anak bertindak semena-mena,’’ kata Eli.
ADVERTISEMENT
Selain itu, sikap orang tua yang terlalu mengintervensi urusan anak juga disayangkan Eli. ’’Banyak orang tua yang bermaksud melindungi anak tapi justru menjadi backup atas kesalahan-kesalahan anak. Tindakan ini keliru karena anak akan merasa bebas melakukan apa saja dan tidak bertanggung jawab atas tindakannya,’’ kata Eli.
Selanjutnya, Eli menyarankan, pengadaan konseling dan refleksi berkala di kalangan remaja agar tidak lagi terjadi tindakan persekusi. ’’Karena pendidikan bukan proses instan sehari, dua hari, tapi pembelajaran sepanjang rentang kehidupan,’’ kata Eli. (Reporter : Windy Goestiana)
Paus Fransiskus wafat di usia 88 tahun pada Senin pagi (21/4) akibat stroke dan gagal jantung. Vatikan menetapkan Sabtu (26/4) sebagai hari pemakaman, yang akan berlangsung di alun-alun Basilika Santo Petrus pukul 10.00 pagi waktu setempat.