Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.96.0
Konten Media Partner
5 Ribu Perempuan dan Anak Indonesia Mengalami Pelecehan Seksual
22 November 2019 19:41 WIB
ADVERTISEMENT
Tiga tahun terakhir, kasus kekerasan seksual pada perempuan mengalami peningkatan. Berdasarkan data dari Komnas Perempuan, ada 5.000 kasus pengaduan terkait kekerasan maupun pelecehan seksual yang terjadi pada perempuan maupun anak-anak setiap tahunnya.
ADVERTISEMENT
Bentuk kekerasan atau pelecehan yang dialami pun beragam, mulai dari pemerkosaan hingga yang terbaru yakni kasus pelemparan sperma yang dialami seorang perempuan dari Tasikmalaya, Jawa Barat.
Perempuan dan anak lagi-lagi menjadi pihak paling rentan mengalami berbagai bentuk kekerasan dari lingkungan terdekat. Ini dikarenakan payung hukum yang dapat melindungi perempuan dan anak dari aneka bentuk kekerasan seksual belum optimal.
Padahal bila Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) telah disahkan DPR dan pemerintah, keadilan bisa ditegakkan dan masa depan korban bisa diselamatkan.
Terpanggil dengan isu tersebut, Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Surabaya (BEM FH Ubaya) mengadakan seminar nasional bertajuk 'Mengulik Kontroversi RUU Penghapusan Kekerasan Seksual', pada Jumat, 22 November 2019 di Auditorium Gedung MA Kampus Ubaya Tenggilis, Surabaya.
ADVERTISEMENT
Dalam seminar tersebut menghadirkan Sri Nurherwati selaku Komisi Nasional Antikekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) dan Prof. Topo Santoso selaku Guru Besar Hukum Universitas Indonesia, sebagai narasumber.
Sri Nurherwati mengatakan, adanya RUU PKS sangat penting untuk melindungi para korban dan memberikan efek jera pada pelaku. Sayangnya, pengesahan undang-undang tersebut berbelit, karena menurut Sri ada orang yang gagal paham dan menggalang dukungan untuk menghentikannya.
"Padahal kita ingin mengajak seluruh elemen untuk mendorong pengambil keputusan agar segera mengesahkan sesuai kajian. Kajian dari sisi angka, layanan, penegakan hukum, bagaimana korban terpulihkan, hingga efek jera bagi para pelaku agar tidak mengulangi," ucap Sri ketika ditemui Basra, Jumat (22/11).
Di dalam RUU PKS, kata Sri, ada enam elemen yang penting untuk diketahui masyarakat diantaranya, pencegahan, tindak pidana bagi pelaku, bentuk pidananya, hukum acara, pemulihan untuk korban, dan pemantauan rehabilitasi pelaku.
ADVERTISEMENT
"Terus soal pemulihan bagi korban ini juga sangat penting. Karena korban mengalami trauma. Dan terkahir pemantauan rehabilitasi bagi pelaku. Hukumnya seperti apa kita sesuaikan dengan kajian yang ada, jadi tidak asal," jelasnya.
Sementara itu, Bunga (nama samaran) korban yang pernah mengalami kekerasan seksual oleh pasangannya ini mengakau jika dari sisi hukum yang ia jalani berjalan dengan lancar.
Hanya saja ia belum mendapatkan perlindungan diri untuknya dan saksi.
"Kasus yang aku alami itu lebih ke UU ITE dan pengancaman. Yang aku butuhkan perlindungan untuk aku dan saksiku. Karena aku khawatir nanti tersangka yang sudah bebas jadi dendam dengan saksiku dan akan mengancam balik," tutur Bunga ketika hadir.
Selain itu, Bunga juga tidak terima hukuman bagi pelaku tidak sebanding dengan apa yang ia alami.
ADVERTISEMENT
"Aku lima tahun diperlakukan dengan tidak baik dan sering mendapat ancaman. Ketakutan itu sering menghampiri, sering cemas, bahkan tidak bisa tidur. Sedangkan hukuman pelaku hanya dua tahun. Apalagi si pelaku habis ini keluar. Saya takut kalau dia akan menyebarkan kembali foto itu," ucapnya.
Hingga kini, ia pun masih mempertanyakan apakah barang bukti yang berisikan foto-foto tersebut dapat dihilangkan.
Untuk menjawab hal itu, Prof. Topo mengatakan jika hal-hal yang berhubungan dengan internet ia bisa langsung datang ke Kominfo untuk melakukan konsultasi.
"Idealnya kalau dikaitkan dengan internet Kominfo sudah mempunyai panduan bahkan ia juga memberi pelatihan untuk polisi dan hakim-hakim. Kalau masalah seperti penyitas bisa dikonsultasikan dengan Kominfo agar hal-hal seperti itu bisa di take down atau dihapuskan," pungkasnya.
ADVERTISEMENT