Konten Media Partner

Adat Suku Tengger Masih Jadi Tujuan Favorit Kearifan Lokal

5 April 2023 10:37 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi poster konsep Cultural-Healing Tourism berbasis Kultur Adat Suku Tengger karya Mukhammad Akbar Makhbubi dan timnya dari Departemen Perencanaan Wilayah dan Kota ITS.
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi poster konsep Cultural-Healing Tourism berbasis Kultur Adat Suku Tengger karya Mukhammad Akbar Makhbubi dan timnya dari Departemen Perencanaan Wilayah dan Kota ITS.
ADVERTISEMENT
Kultur adat di Suku Tengger berpotensi sebagai sarana healing tourism (wisata penyembuhan) berbasis kearifan lokal di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Hal ini berdasarkan riset yang dilakukan mahasiswa Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) terkait sensibilitas kultur adat Suku Tengger.
Mukhammad Akbar Makhbubi, selaku ketua tim riset mengatakan, potensi pengembangan healing tourism di Suku Tengger adalah masyarakat dan budayanya.
Pasalnya, dalam mencapai ketentraman dan kesejahteraan, masyarakat Suku Tengger hidup dengan mengabdikan diri pada aturan adat yang dikenal dengan larangan malima (lima ‘ma’) serta pedoman walima (lima ‘wa’).
Larangan malima tersebut adalah maling atau mencuri, main atau berjudi, madat atau mengkonsumsi narkoba, minum atau mengkonsumsi minuman keras, dan madon atau berzina.
"Sementara untuk walima (lima ‘wa’) yaitu waras atau sehat, wareg atau cukup makan, wastra atau cukup sandang, wisma atau memiliki rumah, dan wasis atau bijaksana," tuturnya, Rabu (5/4).
ADVERTISEMENT
Selain itu, lokasi Suku Tengger yang berada di wilayah Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS) menjadi salah satu atensi pariwisata dan bisa berpotensi untuk mengembangkan healing tourism.
“Keberadaan masyarakat Tengger yang hidup berdampingan dengan kawasan TNBTS dapat menjadi potensi dalam pengembangan healing tourism,” jelas mahasiswa Departemen Perencanaan Wilayah dan Kota (PWK) ITS ini.
Dari hasil riset yang dilakukan di Desa Adat Ngadisari, Kabupaten Probolinggo dan Desa Adat Wonokitri, Kabupaten Pasuruan terdapat enam sensibilitas kultur yang dapat menjadi potensi pengembangan healing tourism pada Suku Tengger.
Kultur tersebut terdiri atas lunga atau berkebun, gegeni atau berkumpul di dapur atau tungku perapian, sanja atau bertamu menjelang senja, memidang atau berjemur diri, megeng atau meditasi, dan dedolan atau berkelana.
ADVERTISEMENT
Menurut Bobi, kultur tersebut merupakan cara masyarakat Suku Tengger dalam memaknai budaya dan kegiatan sehari-harinya.
"Dengan melakukan kegiatan itu dapat menimbulkan rasa senang, tenang, ikhlas, terbuka, dan damai dari masyarakat adat Suku Tengger. Sehingga hal itu dinilai mampu mengurangi emosi negatif dan menjadi referensi pengembangan healing tourism,” ungkapnya.
Selanjutnya, kultur tersebut disusun menjadi satu rangkaian kegiatan dengan konsep cultural-healing tourism yang berisi pencarian makna, pengurangan emosi negatif, dan keseimbangan interaksi.
“Konsep ini akan membawa wisatawan untuk dapat merasakan pengalaman healing dari kultur sehari-hari masyarakat adat Suku Tengger,” tambahnya.
Berkat riset tersebut, Bobi dan tim berhasil meraih Juara 2 Program Kreativitas Mahasiswa Riset Sosial Humaniora (PKM-RSH) dalam ajang Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional (PIMNAS).
ADVERTISEMENT