Konten Media Partner

Angka Golput saat Pilkada Serentak Tinggi, Pakar Hukum Ungkap Hal Ini

3 Desember 2024 7:40 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tempat Pemungutan Suara (TPS) di Surabaya. Foto: Masruroh/Basra
zoom-in-whitePerbesar
Tempat Pemungutan Suara (TPS) di Surabaya. Foto: Masruroh/Basra
ADVERTISEMENT
Tingkat partisipasi rendah dalam Pilkada Serentak 2024 menjadi perhatian serius, terutama di Pilkada Jakarta yang mencatat angka golput tertinggi di Pulau Jawa.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan data quick count Litbang Kompas, angka golput di Jakarta mencapai 42,07%, dengan suara tidak sah sebesar 4,6% dan suara sah hanya 53,33%. Jakarta diikuti oleh Jawa Barat dengan golput sebesar 33,66%, Jawa Timur 30,15%, dan Jawa Tengah 26,44%.
Samsul Arifin Pakar Hukum Universitas Muhammadiyah Surabaya (UM Surabaya) mengatakan, dari hasil data tersebut menunjukkan bahwa meskipun Pulau Jawa merupakan wilayah dengan jumlah penduduk terbanyak di Indonesia, tingkat partisipasi pemilih di beberapa provinsi utama di wilayah ini masih menjadi tantangan.
“Tingginya angka golput dapat disebabkan oleh berbagai faktor, seperti kurangnya kepercayaan terhadap proses politik, kendala teknis dalam pemungutan suara, hingga kurangnya informasi yang diterima oleh pemilih terkait pentingnya partisipasi dalam pemilu,” ujar Ari dalam keterangannya, seperti dikutip Basra, Selasa (3/12).
ADVERTISEMENT
Menurut Ari, sebagian masyarakat cenderung bersikap skeptis, bukan terhadap para calon yang berlaga dalam pemilu, tetapi terhadap proses pemilihan itu sendiri. Proses tersebut kerap dianggap jauh dari nilai-nilai kejujuran, transparansi, dan integritas.
“Dalam pandangan mereka, berbagai dugaan kecurangan, manipulasi, dan ketidakadilan dalam penyelenggaraan pemilu telah menciptakan persepsi negatif yang mendalam,” tegasnya.
Kata Ari, pandangan ini mencerminkan ketidakpercayaan yang signifikan terhadap sistem demokrasi, di mana idealnya suara rakyat menjadi penentu utama.
“Ketidakpercayaan ini dapat disebabkan oleh berbagai faktor, seperti kurangnya keterbukaan dalam proses penghitungan suara, isu-isu terkait politik uang, atau intervensi kekuatan tertentu yang dianggap merusak independensi pemilu,” terang Ari.
Lebih lanjut Ari mengatakan, salah satu faktor utama yang memperparah rendahnya partisipasi pemilih adalah praktik politik uang. Fenomena ini telah menjadi masalah yang sangat sulit untuk diatasi karena telah mengakar dalam budaya politik di berbagai daerah.
ADVERTISEMENT
“Politik uang tidak hanya menciptakan ketergantungan, tetapi juga merusak nilai-nilai demokrasi, di mana suara rakyat seharusnya menjadi murni dan bebas dari pengaruh materi,” katanya.
Kata Ari, masih banyak masyarakat yang akhirnya enggan datang ke tempat pemungutan suara (TPS) jika tidak ada iming-iming uang atau hadiah tertentu. Mereka merasa bahwa partisipasi mereka tidak berarti apa-apa tanpa adanya kompensasi langsung, sebuah mentalitas yang secara tidak langsung dibentuk oleh kebiasaan buruk para aktor politik yang menggunakan uang sebagai alat untuk membeli suara.
“Suara rakyat yang seharusnya menjadi instrumen demokrasi justru tereduksi menjadi sekadar komoditas yang bisa diperjualbelikan” tukasnya.
Fenomena ini memunculkan keprihatinan akan semakin menurunnya partisipasi publik dalam menentukan arah kebijakan negara, terutama di wilayah urban seperti Jakarta.
ADVERTISEMENT
“Sehingga perlu dilakukan evaluasi menyeluruh, baik dari sisi teknis penyelenggaraan pemilu maupun pendekatan sosialisasi kepada masyarakat, agar tingkat partisipasi pemilih di masa mendatang dapat meningkat secara signifikan,” pungkasnya.