Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten Media Partner
Berkaca dari Kasus Kulon Progo, Pemasungan ABK karena Ortu Merasa Kewalahan
27 Agustus 2020 6:25 WIB
ADVERTISEMENT
Baru-baru ini publik dibuat terhenyak dengan aksi keji pasangan suami istri asal Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Keduanya tega menyiksa dan memasung anak kandungnya sendiri, yang penyandang disabilitas di kandang kambing di belakang rumahnya.
ADVERTISEMENT
Kepada polisi, kedua orangtua korban mengaku tega melakukan semua itu karena kesal kepada sang anak yang suka keluyuran dan sering merusak barang milik mertua di rumah.
Ketua Yayasan Peduli Kasih Anak Berkebutuhan Khusus (YPKABK) Surabaya, Dr. Sawitri Retno Hadiati, mengungkapkan apa yang terjadi di Kulon Progo tersebut ibarat fenomena gunung es, hanya sedikit kasus yang terungkap meski sejatinya banyak terjadi.
Menurut Sawitri, perlakuan buruk yang kerap diterima anak-anak berkebutuhan khusus kebanyakan tak terlepas dari orangtua yang tak memahami bagaimana cara merawat dan mengasuh anak berkebutuhan khusus. Kondisi ini kian diperparah dengan tak adanya dukungan dari lingkungan sekitar.
"Kebanyakan orangtua bingung bagaimana cara mengendalikan anak berkebutuhan khusus. Mereka tak paham apa maunya anak. Anak sampai merusak barang karena ada sesuatu yang diinginkan tapi orangtua tak memahaminya. Makin parah lagi karena tak ada support dari lingkungan sekitar yang memang kerap memandang sebelah mata. Jadilah anak berkebutuhan khusus (ABK) kerap diperlakukan kasar dan 'disembunyikan' keberadaannya dari dunia luar," jelas Sawitri kepada Basra, (26/8).
ADVERTISEMENT
Kondisi tersebut, kata Sawitri, makin parah seiring merebaknya pandemi COVID-19. Dimana sekolah dilakukan secara online dengan pemberian materi yang kerap disamakan antara ABK dengan anak-anak normal lainnya.
"Tugas sekolah yang diberikan disamakan dengan anak-anak reguler, padahal anak berkebutuhan khusus memiliki keterbatasan. Jadilah orangtua makin kewalahan menghandle anaknya. Dari sini saja, emosi orangtua bisa terpancing dan jika menumpuk setiap harinya akhirnya lepas kendali dengan penyelesaian yang tergolong pragmatis," paparnya lagi.
Berangkat dari fenomena tersebut pihaknya, lanjut Sawitri, telah memberikan berbagai upaya pendampingan kepada orangtua anak penyandang disabilitas, khususnya dimasa pandemi. Adapun pendampingan yang diberikan berupa pendampingan individu melalui kegiatan kreatif.
"Selama masa pandemi kami melakukan pelatihan dan coaching gratis kepada orang tua ABK secara online. Salah satunya dengan materi pelatihan kreativitas orangtua dalam meningkatkan potensi, bakat, dan minat anak berkebutuhan khusus," ujarnya.
ADVERTISEMENT
Sabar dan kreatif, kata Sawitri, menjadi poin penting yang harus dimiliki orangtua ABK agar dapat memahami apa yang menjadi minat dan kemauan anak. Orangtua juga harus open minded dengan tidak menyembunyikan keberadaan anaknya.
"Jangan malu dengan kondisi anak. Mari membuka diri dan tunjukan bahwa anak kita ini istimewa," tegasnya.
Sawitri juga mengungkapkan selama pandemi merebak, di Surabaya belum ada laporan yang masuk kepadanya terkait penganiayaan anak berkebutuhan khusus.
"Ini kan fenomena gunung es, hanya sedikit kasus yang terungkap ke permukaan. Mudah-mudahan di Surabaya memang tidak ada kasus," simpulnya.