Bukan Dikebiri, Ini Hukuman yang Cocok Bagi Predator Seks pada Anak-anak

Konten Media Partner
9 Juli 2022 13:48 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Pixabay.
zoom-in-whitePerbesar
Pixabay.
ADVERTISEMENT
Kasus pelecehan seksual bisa terjadi di mana saja dan kapan saja. Bahkan baru-baru ini, kasus pelecehan tersebut marak terjadi di lingkungan sekitar, seperti di rumah, sekolah hingga pondok pesantren.
ADVERTISEMENT
Pelakunya sendiri tak lain merupakan orang terdekat korban, guru atau pengurus di tempat tersebut. Lantas apa hukuman yang cocok bagi para predator seks tersebut?
Menjawab hal itu, kriminologi dari Universitas Surabaya (Ubaya) Dr. Elfina L. Sahetapy, S.H., LL.M, mengatakan, jika hukuman mati tidak mungkin dilakukan.
Sementara terkait hukum kebiri bagi para pelaku pelecehan seksual di Indonesia masih menimbulkan pro dan kontra.
"Karena secara penelitian belum pernah ada dan ada beberapa putusan sudah menjatuhkan kebiri kimia tapi tidak dieksekusi. Ya kan sama saja. Kalau IDI dan pihak penegak hukum belum ada kesepakatan yaudah enggak usah. Karena menurut saya ini bisa berhasil bisa juga tidak. Karena kondisi orang kan berbeda-beda," kata Ina pada Basra, Sabtu (9/7).
ADVERTISEMENT
Terkait hukuman penjara yang diberikan, Ina menuturkan jika hal itu tidaklah efektif. Pasalnya, setelah keluar dari penjara, para pelaku ini bisa saja kembali melakukan kejahatan tersebut.
"Kalau penjara saja dia dipenjara minimal 15 tahun pun itu bukan sesuatu yang menjadi jaminan. Misal dia melakukan kejahatan itu di usia 20 tahun, lalu keluar di usia 35 tahun, kan dia juga bisa melakukan lagi," tuturnya.
Menurut Ina, hukuman bagi para predator seks ini adalah rehabilitasi. Tentunya hal ini perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dan dengan pengetahuan dari ilmu hukum dan psikologi.
Ina melihat, dari kaca mata kriminologi kebanyakan para predator seks ini selalu mempunya masa lalu yang berakibat atau berdampak, sehingga mereka melakukan pelecehan.
ADVERTISEMENT
"Jadi kita bisa tahu, orang itu melakukan kelainan seks dari hati kah, rasa ingin, atau dari otaknya yang dia memandang anak dengan nilai sangat rendah. Entah dia dulu jadi korban atau bagaimana. Jadi pasti ada history yang harus dibetulkan. Istilahnya kan ada yang korslet dalam dirinya. Itu yang harus dibetulkan," jelas Dosen Fakultas Hukum Ubaya ini.
"Jadi konsep-konsep mengenai bagaimana dia hidup, seperti bagaimana dia melindungi anak, itu harus dimunculkan. Lalu bagaimana cara yang efektif untuk mengubah cara pandang si predator itu," tambahnya.
Untuk itu, hal ini perlu dipertimbangkan dan dikaji ulang, agar kasus pelecehan seksual pada anak-anak tidak kembali terjadi.
"Kebanyakan pelaku pemerkosaan yang berat atau sudah punya sistem, saya kira dia ada sesuatu dihistoris-nya yang salah. Jadi itu tidak bisa dikenakan pidana penjara saja, bagi saya itu useless dan tidak bisa memperbaiki dia ke depan. Kalau tidak diperbaiki dari sekarang kan bisa memunculkan korban lebih banyak," pungkasnya.
ADVERTISEMENT