Konten Media Partner

Cerita Danar Dwi Lestarikan Wayang Langka, Rela Beli Kulit Kerbau dari Sulawesi

16 Juli 2020 13:42 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Danar Dwi, pelestari wayang Jekdong yang telah berumur ratusan tahun. Foto-foto: Zulfikar Firdaus
zoom-in-whitePerbesar
Danar Dwi, pelestari wayang Jekdong yang telah berumur ratusan tahun. Foto-foto: Zulfikar Firdaus
ADVERTISEMENT
Tahukah kamu, di Jawa Timur ada kesenian wayang kulit yang mulai hilang keberadaannya. Namanya, wayang kulit Jekdong pesisiran. Wayang Jekdong adalah teater tuturan yang saat dipentaskan akan dibuka dengan iringan kepyang, kendang, dan gong. Saat ketiga alat musik itu dibunyikan bersamaan, akan memunculkan bunyi 'jek dong'.
ADVERTISEMENT
Wayang Jekdong sudah berusia lebih dari 100 tahun. Wayang Jekdong punya gaya pementasan khas yang disebut suluk'an. Suluk'an adalah tembang bahasa Jawa yang berisi pujian dan mantra-mantra.
Saat ini, kesenian wayangan Jekdong pesisiran sudah sangat langka, baik dari sisi keberadaan wayang maupun dalang. Dalang wayang Jekdong hanya tersisa di Gresik. Di daerah yang dulu populer diselenggarakan wayangan Jekdong seperti Lamongan, Tuban, Surabaya, dan Bojonegoro, kini hanya bisa ditemui wayangnya saja.
Peralatan yang dipakai Danar untuk 'ngeblak' wayang.
Beda wayang Jekdong dan Soloan ada pada cara membuka cerita wayang. Pada gaya Soloan, wayangan langsung dibuka pada 'janturan' atau tembang berisi sinopsis cerita. Sedangkan pada wayang Jekdong, pagelaran wayang dibuka dengan 'pelungan' atau doa yang dibaca berirama oleh dalang.
ADVERTISEMENT
Gaya wayangan Jekdong yang seperti itu dikenalkan oleh Mbah Pit Asmoro, seniman asal Mojokerto yang menciptakan pakem berupa Gending Gondokusumo.
Saat itu banyak dalang dari berbagai wilayah di Jawa Timur yang berguru ke Mbah Pit Asmoro. Setelah menyerap ilmu, para dalang inipun ketika kembali ke daerah mereka masing-masing dan membuat modifikasi sesuai kultur dan kearifan lokal di wilayahnya. Dari penyesuian itulah wayang Jekdong pesisiran beralih ke gaya Jekdong populer.
Kiri adalah wayang khas Soloan sedangkan kanan adalah wayang Jekdong yang punya cirikhas wajah merah.
Dari sedikit anak muda yang peduli akan nasib wayang Jekdong, Danar Dwi mendedikasikan waktu dan energinya untuk melestarikan wayang Jekdong.
Danar mengatakan, ia tertarik melestarikan wayang karena sering menonton pagelaran wayang di gedung kesenian Cak Durasim Surabaya. Selain itu, sang kakek juga seorang dalang.
ADVERTISEMENT
Danar awalnya tak kenal apa itu wayang Jekdong. Hingga ia bertemu budayawan di Malang yang disapanya Pak Yudit. Melalui Yudit, Danar belajar mendalang sekaligus belajar sejarah wayang Jawa Timur bernama Jekdong.
Perbedaan mencolok wayang Jekdong dengan wayang Soloan bisa dilihat dari ukuran. Ukuran wayang soloan lebih besar daripada Jekdong. Untuk area wajah, wayang Soloan berwarna hitam dan Jekdong berwarna merah. "Kalau Soloan, warna merah di wajah hanya untuk karakter raksasa, tapi kalau Jekdong semua karakter wajahnya merah, dan karakter raksasa di tiap sisinya diberi 2 mata sebagai pembeda dengan karakter manusia." kata Danar (15/7).
Menyadari bahwa tak banyak orang yang mengetahui wayang Jekdong, Danar mencoba melestarikannya dengan mereplika karakter wayang-wayang tersebut. Istilahnya, ngeblak.
ADVERTISEMENT
Desain mal atau blak wayang yang dibuat oleh Danar. Beberapa gambar mal wayang sudah dibuat ulang oleh Danar, nantinya gambar mal terbut akan diaplikasikan ke kulit untuk dijadikan wayang, teknik ini dikenal dengan istilah ngeblak.
Danar menggunakan kulit kerbau yang menurutnya lebih kuat daripada kulit sapi. Kulit kerbau ini dia datangkan dari Makassar dengan harga sekitar Rp 300 ribu sampai Rp 1,5 juta, tergantung lebar kulit yang dibeli.
Setelah kulit didapat, maka Danar akan memotong sesuai kebutuhan. Setelah dipotong, kulit dibersihkan, dan direndam dalam air agar kulit menjadi lebih lunak.
Setelah direndam, kulit akan dibentangkan di papan dan dipaku setiap sisinya agar tidak melengkung. Setelah dipaku, bulu-bulu halus di kulit kerbau akan dicukur, dan dikeringkan hingga beberapa hari.
Setelah itu, Danar yang berprofesi sebagai ilustrator ini akan mulai membuat desain untuk ngeblak wayang. Gambar wayang tersebut akan diaplikasikan ke kulit untuk dijadikan wayang.
Danar Dwi menunjukkan wayang Jawa Timuran berkarakter Semar dan Bagong hasil buatannya, yang ia buat dengan cara meniru (ngeblak). Teknik ini ia gunakan sebagai upaya pelestarian wayang Jekdong yang hampir punah.
Danar telah mengumpulkan banyak wayang berusia puluhan dan ratusan tahun. Bahkan Danar punya karakter wayang Jawa Timuran bernama Ganjendramuka, yang merupakan tokoh Raja berkepala gajah. Salat satu ciri wayang Jawa Timuran untuk karakter raksasa, terdapat 2 mata pada tiap sisinya.
ADVERTISEMENT
Danar bercerita, saat ingin ngeblak wayang dia bertanya pada Pak Yudit apakah ada ritual khusus yang harus dia jalankan. Oleh Yudit Danar tidak disarankan melakukan ritual apapun.
Hingga suatu waktu saat Danar membuat hendak ngeblak karakter Semar, Danar sempat tertidur dan bermimpi. Percaya atau tidak, dalam mimpi tersebut Danar didatangi Semar.
"Wayang semar tiba-tiba ada di depan saya dan berkata 'ojok metu soko pakem' (jangan keluar dari pakem), saya kaget dan langsung bangun," kata Danar.
Kini selain ngeblak wayang Jekdong sebagai upaya pelestarian, Danar juga sedang membuat komik wayang dengan ciri Jawa Timuran.
Danar menunjukkan koleksi wayang Jawa Timuran berkarakter burung garuda, dengan kondisi beberapa bagian yang rusak. Wayang-wayang tersebut nantinya akan dibuat ulang dengan teknik meniru atau ngeblak, sebagai upaya pelestarian wayang Jawa Timuran atau Jekdong.
Saat ditanya apakah nantinya Danar akan menjadi pengrajin wayang, ia hanya ingin fokus sebagai pelestari saja bukan pengrajin. "Saya enggak mau ambil lahan nafkah orang lain," kata Danar.
ADVERTISEMENT
Reporter : Zulfikar Firdaus