Konten Media Partner

Dari Iseng, Cerpen Dosen di Surabaya Moncer di Ajang Sastra Bergengsi se ASEAN

20 April 2025 8:24 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Kukuh Yudha Karnanta SS MA, Dosen Bahasa dan Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Airlangga (Unair).
zoom-in-whitePerbesar
Kukuh Yudha Karnanta SS MA, Dosen Bahasa dan Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Airlangga (Unair).
ADVERTISEMENT
Tidak hanya mahasiswa, tetapi dosen juga bisa menorehkan prestasi membanggakan. Seperti halnya Kukuh Yudha Karnanta SS MA, Dosen Bahasa dan Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Airlangga (Unair). Ia terpilih menjadi sepuluh penulis terbaik dalam seleksi program Emerging Writers Ubud Writers & Readers Festival (UWRF) 2025.
ADVERTISEMENT
Emerging Writers dalam Ubud Writers & Readers Festival (UWRF) adalah sebuah ajang sastra paling bergengsi di Asia Tenggara.
Alasan keikutsertaan dosen sekaligus penulis itu juga tergolong unik. Kukuh, sapaannya, mengungkapkan bahwa alasan keikutsertaannya dalam UWRF 2025 awalnya tidak berdasar pada niatan khusus alias iseng. Draft cerpen yang ia ajukan sebenarnya untuk ia terbitkan dalam koran cetak.
“Setelah draft cerpen itu jadi, ternyata panjangnya sekitar 2.500 kata, sementara koran hanya menerima kisaran 1.500 kata. Memangkasnya tidak mungkin, akan banyak bagian yang hilang. Lalu saya cari info di internet, media yang sesuai dengan panjang cerpen saya. UWRF muncul sebagai salah satu opsi, karena panjangnya bisa 3.500 kata,” jelasnya, Minggu (20/4).
Menyadari UWRF adalah ajang dengan prestise tinggi di kalangan penulis sastra, Kukuh lantas mengembangkan draft cerpen awal menjadi lebih kompleks dan menambahkan detil cerita.
ADVERTISEMENT
Lahirnya mahakarya berasal dari proses panjang, layaknya cerpen yang ia tulis untuk perhelatan UWRF 2025. Cerpen tersebut berlatar Kota Surabaya. Khususnya di Makam Eropa Peneleh. Rencananya, cerpen ini akan diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dan terbit pada Oktober mendatang.
“Ada nuansa sejarah masa transisi kolonialisme Belanda ke era pendudukan Jepang di awal tahun 1942. Ada juga kehidupan para orang-orang Belanda di kamp-kamp interniran,” sebutnya.
Gagasan kisah dalam cerpen yang Kukuh tulis bermula dari andilnya dalam penyusunan naskah akademis guna ikut serta dalam program Memori Kolektif Bangsa. Dalam kesempatannya membaca ratusan lembar arsip catatan pemakaman Eropa Peneleh, ada beberapa arsip yang menyentuhnya. Terutama arsip yang ditulis oleh seorang dari Belanda.
“Saya berpikir, makam bukan untuk mereka yang telah mati saja. Makam adalah juga untuk mereka yang hidup. Manusia hidup dalam dan dengan memori. Manusia menciptakan, mereproduksi, dan mengawetkan memori. Dan makam adalah bagian dari seluruh proses memori itu,” imbuhnya.
ADVERTISEMENT
Menurutnya, sisi kemanusiaan yang ia tonjolkan bersifat universal karena relasi antara ayah dan anak laki-laki dialami oleh setiap orang. Hal itu membuat Kukuh tergerak untuk menuliskan hal ini.
“Saya menuliskan bukan dalam bentuk naskah akademik atau formulir. Melainkan dalam bentuk cerita agar saya punya banyak ruang untuk mengeksplorasi sisi kemanusiaan dalam arsip-arsip tentang makam Eropa ini,” ungkap dosen yang pernah meraih penghargaan Kritik Film Terbaik di ajang Festival Film Indonesia 2021 itu.
Proses kreatif dalam penulisan naskah cerpennya juga terbilang tak mudah. Ia menuturkan perlu melakukan penyesuaian, penggalian data data, dan arsip-arsip lain di luar Arsip Makam Eropa Peneleh.
"Saya lupa sudah berapa kali merevisinya, dan memastikan setiap detailnya. Saya beruntung memiliki sahabat dan kolega yang bersedia membaca draft awal cerpen ini, dan memberikan koreksi-koreksi kritis untuk perbaikan,” terangnya.
ADVERTISEMENT
Ia menyampaikan bahwa ia menikmati proses kreatif penulisan cerpen ini. Ia meyakini bahwa setiap arsip punya kisah ajaibnya masing-masing.
“Hal yang bisa saya bagikan kepada teman-teman mahasiswa yang tertarik menekuni penulisan adalah, keterampilan menulis itu harus diimbangi dengan keberanian menjelajah banyak hal lain. Seperti sejarah, budaya lokal, teknologi, dan lain-lain sebagai sumber inspirasi,” pungkasnya.