Konten Media Partner

Dilema SMP Diponegoro, 'Menjerit' karena Susah Cari Murid

27 Maret 2019 5:57 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Beralamat di Kedung Sroko Gang 5 No. 15-21, inilah SMP Diponegoro yang berdiri sejak 1970. Foto: Windy Goestiana
zoom-in-whitePerbesar
Beralamat di Kedung Sroko Gang 5 No. 15-21, inilah SMP Diponegoro yang berdiri sejak 1970. Foto: Windy Goestiana
ADVERTISEMENT
Di kota sebesar Surabaya ternyata masih ada sekolah-sekolah yang kesulitan menambah jumlah siswa. Sekolah Menengah Pertama (SMP) Diponegoro Surabaya adalah contoh nyata.
ADVERTISEMENT
Pada penerimaan siswa baru tahun 2018 lalu, SMP yang berada di belakang kampus Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Airlangga (Unair) ini hanya mampu menjaring 10 siswa.
''Awalnya ada yang daftar 15 orang, tapi ternyata yang lima orang menarik kembali berkasnya karena diterima di SMP negeri. Sekolah di negeri kan gratis,'' kata Kepala Sekolah SMP Diponegoro Surabaya, Eny Wihermin, kepada Basra, Selasa (26/3).
Hingga Maret 2019, jumlah siswa SMP Diponegoro secara keseluruhan hanya 58 siswa. ''Kelas 7 ada 10 siswa, kelas 8 ada 25 siswa, dan kelas 9 ada 17 siswa,'' kata Eny.
Untuk biaya operasional sekolah, SMP Diponegoro mengandalkan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dan dana Bantuan Operasional Pendidikan Daerah (BOPDA) untuk menggaji guru.
ADVERTISEMENT
Besaran dana BOPDA per bulan yang mereka terima sekitar Rp 3,6 juta, sedangkan dana BOS yang diterima adalah Rp 1 juta yang dikalikan dengan 58 siswa, jadi sekitar Rp 58 juta.
Dra. Eny Wihermin, Kepala Sekolah SMP Diponegoro Surabaya. Foto : Windy Goestiana
''Kalau mengandalkan uang sekolah anak-anak enggak bisa. Siswa di sini mayoritas dari kalangan (ekonomi) menengah ke bawah sekali,'' kata Eny.
Biaya SPP di SMP Diponegoro berlaku sama untuk kelas 7, 8, dan 9, yakni Rp 60 ribu. Sementara untuk siswa yang tidak mampu dan berstatus yatim, kata Eny, biayanya digratiskan. ''Karena saya tahu sendiri rumahnya, saya enggak tega untuk narik SPP,'' tutur Eny, yang juga mengajar mata pelajaran IPS sejak 1984 ini.
Rata-rata orang tua siswa di SMP Diponegoro bekerja sebagai buruh angkut di pasar, tukang becak, asisten rumah tangga, hingga pedagang kaki lima.
ADVERTISEMENT
Kondisi keuangan sekolah yang sulit juga menyebabkan keterlambatan pembayaran gaji para guru. Eny juga tak memungkiri kalau ada beberapa guru tidak tetap yang absen mengajar karena belum menerima gaji.
''Gaji guru tidak tetap itu sekitar Rp 300 ribu sampai Rp 450 ribu per bulan. Itu pun kadang bisa terlambat dua bulan baru bisa terbayar,'' kata Eny.
Eny pun mengaku kalau untuk menyiapkan ujian sekolah berstandar nasional (USBN), dia rela menggunakan tabungan pribadinya agar bisa membeli laptop.
Bangunan sekolah ini dibagi untuk SD, SMP, dan SMK. Khusus untuk SMP Diponegoro, hanya memiliki tiga ruang kelas untuk siswa kelas 7, 8, dan 9. Foto: Windy Goestiana
Eny akan melepas kepemimpinannya di SMP Diponegoro Surabaya pada Agustus 2019. Usianya sudah menginjak 60 tahun dan saatnya memasuki masa purnabakti.
''Sebelum saya meninggalkan sekolah ini saya akan berusaha mendapatkan murid yang banyak. Kalau perlu harus memangkas uang pendaftaran saya akan lakukan. Kalau murid banyak, biaya SPP bisa murah, renovasi sekolah bisa dilakukan, kegiatan siswa bisa bervariasi, dan yang terpenting anak-anak jadi semangat ke sekolah karena suasana belajar di sekolah yang menyenangkan,'' kata Eny yang sudah mendedikasikan diri di SMP Diponegoro sejak 35 tahun yang lalu.
ADVERTISEMENT
Semoga!
(Reporter: Windy Goestiana)