Epidemiolog: Apa Itu PPKM Skala Mikro, Apa Sama dengan Kampung Tangguh?

Konten Media Partner
8 Februari 2021 11:52 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Kampung Tangguh yang ada di Surabaya. Epidemiologi mempertanyakan konsep dari PPKM berskala mikro, apakah sama dengan Kampung Tangguh? Foto-foto: Masruroh/Basra
zoom-in-whitePerbesar
Kampung Tangguh yang ada di Surabaya. Epidemiologi mempertanyakan konsep dari PPKM berskala mikro, apakah sama dengan Kampung Tangguh? Foto-foto: Masruroh/Basra
ADVERTISEMENT
Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Jawa Bali jilid kedua resmi berakhir hari ini, Senin (8/2). Selanjutnya pemerintah memutuskan untuk menerapkan PPKM berskala mikro. Epidemiologi Universitas Airlangga (Unair) Surabaya Dokter Windhu Purnomo mempertanyakan apa yang dimaksud dengan PPKM skala mikro?
ADVERTISEMENT
"Apa yang dimaksud dengan PPKM berskala mikro? Apa istilah ini sama dengan karantina wilayah berskala mikro? Apakah sekedar nama lain dari istilah semacam "kampung tangguh"?" ujarnya kepada Basra, Senin (8/2).
Lebih lanjut Windhu mengungkapkan, jika yang dimaksud adalah karantina wilayah tapi berskala mikro, berarti ada wilayah mikro (RT/RW/Desa-Kelurahan) yang dikarantina dan ada yang tidak dikarantina.
Kalau memang PPKM Mikro adalah pendekatan yang sama dengan Karantina Wilayah berskala Mikro, dia pun mempertanyakan indikatornya.
"Apa indikator penetapan wilayah-wilayah mikro yang akan dikarantina dan yang tidak? Bukan kah dalam kondisi testing rate dan contact tracing kita sangat kecil," tukasnya.
Berdasarkan data yang dia miliki, testing rate di Indonesia belum sampai 3 persen dari jumlah populasi yang ada. Menurutnya, ini menjadi seperti peta buta sehingga tidak bisa menetapkan wilayah mikro yang berisiko tinggi/rendah.
ADVERTISEMENT
"Apakah wilayah mikro yang dianggap berisiko rendah karena tidak ada kasus atau kasusnya sedikit memang benar-benar tidak ada kasus atau kasus sedikit? Itu bisa sangat menyesatkan karena bisa saja itu semu karena kita tidak mampu mendeteksinya akibat testing yang sangat lemah," jelasnya.
Windhu menegaskan bila testing rate makin lemah, karantina wilayah yang diberlakukan seharusnya makin makro sedikitnya tingkat kota/kabupaten, atau tingkat propinsi, pulau atau nasional. Makin tinggi testing rate maka makin bisa dilakukan karantina wilayah yang mikro, bahkan sampai tingkat RT-RW.
Dia lantas mencontohkan yang dilakukan di Hongkong, pemerintahnya bisa melakukan lockdown tingkat mikro yaitu blok-blok karena testing ratenya mencapai lebih dari 85 persen populasinya.
"Tapi kalau pengertian PPKM berskala mikro adalah semacam "kampung tangguh", lha kan ini katanya sudah dilakukan, ya gak apa-apa kalau ini yang dioptimalkan. Berarti ini sebuah pengakuan bahwa konsep "kampung tangguh" selama ini belum banyak diimplementasikan dengan benar, hanya nama doang," tukasnya.
ADVERTISEMENT
Menurut Windhu, dalam penanganan COVID-19 pemerintah sebaiknya tidak hanya suka bermain istilah atau nama, tapi betul-betul substansinya harus sesuai dengan prinsip-prinsip pemutusan rantai penularan berdasarkan keilmuan public health/epidemiologi, yaitu betul-betul membatasi mobilitas dan interaksi warga.
"Mobilitas hanya boleh untuk kepentingan yang sangat esensial, dan itu pun harus 100 persen menjalankan protokol kesehatan," pungkasnya.