Konten Media Partner

Hari Kebaya Nasional, Pakar Ungkap Sejarah Kebaya di Indonesia

24 Juli 2024 15:34 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi kebaya. Foto: Masruroh/Basra
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi kebaya. Foto: Masruroh/Basra
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Hari Kebaya Nasional diperingati setiap tanggal 24 Juli. Kebaya merupakan salah satu pakaian dari zaman dahulu yang tidak lekang oleh waktu. Saat ini kebaya tidak hanya dipakai untuk hal yang resmi, namun juga sebagai fashion atau identitas diri dari sang pemakai.
ADVERTISEMENT
Sejarawan Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Airlangga (Unair) Moordiati SS MHum menceritakan, kebaya telah dikenal jauh sebelum masa kemerdekaan Indonesia. Pada mulanya, kebaya diperkenalkan oleh bangsawan Eropa atau para priyayi pada abad 19.
“Sebetulnya, pada zaman klasik, yakni pada Hindu-Buddha, juga telah mengenal pakaian. Namun, zaman tersebut pakaian yang dikenakan tidak sepenuhnya menutupi seluruh tubuh. Awal memasuki civilized era masyarakat baru menyadari bahwa perlunya pakaian yang menutup badan secara keseluruhan,” jelasnya, seperti dikutip Basra, Rabu (24/7).
Moordiati mengatakan, pada zaman itu keberadaan kebaya ini sangat terbatas hanya kalangan tertentu yang dapat menggunakan kebaya. Masyarakat biasa umumnya hanya memakai kemben untuk kegiatan sehari-harinya. Ia menambahkan, pada zaman itu kebaya dinilai pakaian yang sangat eksklusif.
ADVERTISEMENT
“Awal mula masyarakat pribumi mengenal kebaya yakni adanya interaksi dengan para bangsawan. Salah satunya, para buruh atau server yang bekerja untuk mereka (Red. bangsawan). Akhirnya, perlahan-lahan masyarakat mengadopsi kebaya yang digunakan oleh bangsawan saat itu,” tuturnya.
Pada zaman itu terdapat perbedaan dalam pemakaian kebaya yakni terlihat dari bahan yang digunakan. Para bangsawan atau priyayi cenderung memakai kebaya berbahan eksklusif yakni bludru dan kancing emas.
Sedangkan, masyarakat biasa memakai kebaya berbahan seadanya atau yang sekarang dikenal dengan lurik.
“Perbedaan tersebut menunjukkan representasi dari suatu kelas masyarakat tertentu pada saat itu antara masyarakat kelas menengah bawah dan masyarakat kelas atas,” paparnya.
Ia menambahkan, namun saat itu penggunaan model yang digunakan hampir sama. Terbukti, pada beberapa sumber sejarah membuktikan para bediende dan masyarakat kelas atas menggunakan model kebaya encim. Model itu merupakan hasil saduran dari budaya Indonesia dengan budaya Tionghoa.
ADVERTISEMENT
“Perempuan indo campuran memiliki peran yang besar dalam melanggengkan eksistensi kebaya pada saat itu. Mereka melanggengkan keberadaan kebaya tidak hanya pada estetika namun juga kenyamanan karena menyesuaikan iklim pada kawasan Hindia-Belanda,” imbuhnya.
Pada zaman sekarang, kebaya dapat digunakan oleh semua kalangan bukan lagi sebagai penentu sebuah kelas dari suatu kelompok. Sosok ibu Tien Soekarno atau istri kedua presiden pertama Indonesia menjadi salah satu trendsetter saat itu.
“Ibu Tien Soekarno memiliki ciri dan kebiasaan yang melekat, yakni memakai riasan yang cantik serta memakai kebaya kutu baru. Kebiasaan tersebut telah dicerminkan oleh ibu negara pada masa Soekarno hingga Soeharto serta menjadi cikal bakal tren kebaya pada perempuan Indonesia bahkan hingga saat ini,” ujar Moordiati.
ADVERTISEMENT
Moordiati berharap, bahwa pakaian kebaya nasional ini harus lestari dari zaman ke zaman. Terutama untuk anak muda sebagai generasi penerus bangsa. Jangan malu untuk menggunakan kebaya pada setiap kesempatan.
“Kalau bukan dari anak muda yang memulai, siapa yang akan melestarikan pakaian kebaya di masa mendatang,” tandasnya.