Ini Saran Dokter agar Tak Mengalami Badai Sitokin Seperti Deddy Corbuzier

Konten Media Partner
28 Agustus 2021 7:23 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Pixabay.
zoom-in-whitePerbesar
Pixabay.
ADVERTISEMENT
Baru-baru ini mentalis sekaligus YouTuber Indonesia Deddy Corbuzier mengungkapkan bahwa dirinya mengalami badai sitokin (cytokine storm) setelah positif COVID-19.
ADVERTISEMENT
Bahkan kondisi tersebut membuat Deddy mengalami ground glass opacity (GGO) atau adanya kelainan pada paru-paru hingga 30 persen.
Lantas apa itu badai sitokin dan bagaimana cara mencegahnya?
Menjawab hal itu, dr. Decsa Medika Hertanto, SpPD, mengatakan sebenarnya badai sitokin tidak hanya ada di COVID-19 saja, melainkan juga ada di penyakit lain yang disebabkan oleh bakteri, virus, dan jamur. Seperti radang paru, infeksi saluran kencing berat, dan lainnya.
Ia mengungkapkan, saat tubuh diserang bakteri, virus, dan sebagainya, tubuh mempunyai mekanisme pertahanan dengan membangkitkan respon imun. Di mana tentara tubuh akan siap menghalau musuh (virus, bakteri) kita siapa aja.
Pada saat tubuh diserang, tentara di tubuh kita akan saling berkomunikasi satu sama lain. Komunikasi antara sel imun ini menggunakan media yang bernama sitokin.
ADVERTISEMENT
"Komunikasi ini dilakukan agar sistem kekebalan tubuh kita berjalan dengan baik. Dinamakan badai sitokin, karena sistem perthanan tubuh yang awalnya bisa menangani, tapi karena jumlah virus banyak atau sistem perthanan tubuh terlalu lemah, dia manggil bantuan pasukan lain. Nah otomatis jumlah sitokin atau komunikasinya juga akan meningkat," kata dr Decsa saat live Instagram bersama @lawancovid19_id, Sabtu (28/8).
Saat komunikasi tersebut meningkat, tentara tubuh juga melakukan koordinasi untuk menimbulkan peperangan guna memerangi virus yang datang.
"Jeleknya, saat badai sitokin, komunikasi semakin banyak, sel tentara tubuh semakin banyak untuk melawan virus, maka semakin besar skill atau luas peperangan. Sehingga akan semakin besar juga musuhnya dan semakin banyak daerah sekitar peperangan yang rusak. Misal peperangan terjadi di paru ya organ parunya yang rusak. Kalau di otak ya organ otaknya yang rusak," tambahnya.
Pixabay.
Dokter spesialis penyakit dalam ini menjelaskan, badai sitokin biasanya terjadi di hari-hari kritis. Yakni hari kelima hingga ke-10.
ADVERTISEMENT
"Yang harus diwaspadai ya hari-hari (hari kritis) itu. Pada orang-orang komorbid itu lebih cepat. Tanda-tanda yang harus diwapadai demam tinggi, sesak nafas berat, lemah tubuh, hingga hilang kesadaran," jelasnya.
Guna mencegah agar hal tersebut tidak terjadi, dr Decsa mengungkapkan, jangan sampai terpapar COVID-19. Menurutnya, pencegahan adalah hal utama.
"Paling gampang agar tidak terjadi jangan sampai kena COVID-19. Karena badai ini tidak bisa kita prediksi sama sekali. Kemungkinan risiko untuk terjadi badai sitokin tinggi. Pencegahan adalah hal utama. Kita cegah dengan pakai masker, untuk meminimalisir masuknya virus. Karena dengan disiplin prokes dengan baik, dapat menghindarkan atau mencegah tubuh dari virus," ungkapnya.
Selain disiplin protokol kesehatan, dr Decsa juga berpesan kepasa masyatakat untuk menerapkan pola hidup sehat. Karena sistem imun kita dipengaruhi oleh pola hidup bersih dan sehat.
ADVERTISEMENT
"Lalu terakhir adalah vaksinasi. Dengan vaksinasi kita ingin melatih tentara tubuh kita agar siap bertempur dengan virus COVID-19. Sehingga ketika COVID-19 datang, dia sudah siap untuk menghadapi hal itu. Kalau kena, segera ke rumah sakir, karena semakin kita cepat mendeteksi dini, kita bisa menanganinya juga lebih dini," pungkasnya.