Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 ยฉ PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten Media Partner
Inilah Qomarul Lailiah, Guru Bahasa Inggris yang Jadi Wasit di Olimpiade Tokyo
8 Agustus 2021 7:53 WIB
ยท
waktu baca 5 menitADVERTISEMENT
Wahyana bukan satu-satunya wasit dari Indonesia di ajang Olimpiade Tokyo 2020. Karena ada nama Qomarul Lailiah, guru Bahasa Inggris SDN Sawunggaling I/382, Kota Surabaya, Jawa Timur, yang terpilih sebagai salah satu wasit perempuan di cabang olahraga badminton.
ADVERTISEMENT
Dalam live Instagram Sapa GTK yang diadakan Direktur Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan Kemendikbudristek RI, Dr. Iwan Syahril, Ph.D, pada Sabtu 7 Agustus 2021 malam, Lia (sapaan Qomarul Lailiah) bercerita tentang awal mula dirinya menjadi wasit badminton.
"Jadi dulu saya saat masih jadi guru honorer di sekolah dekat rumah, ada guru olahraga di sana yang ajak saya jadi wasit. Karena beliau sudah jadi wasit untuk tingkat Jawa Timur. Beliau saat itu bilang, wasit Indonesia itu tidak kalah kualitasnya dengan wasit luar negeri. Bagus-bagus dalam memimpin pertandingan. Tapi kendalanya dalam komunikasi, faktor bahasa. Karena banyak aturan dalam bulu tangkis itu masih dalam Bahasa Inggris. Dan lagi beliau bilang, tidak ada wasit perempuan," kata Lia yang juga lulusan Bahasa dan Sastra Inggris STIBA Satya Widya Surabaya tahun 2000 ini.
ADVERTISEMENT
Mendengar ajakan tersebut, Lia tak langsung mengiyakan. Karena menurutnya, dia bukanlah guru olahraga dan tak punya pengetahuan atau pengalaman apapun tentang wasit.
"Saya sampai dikasih bukunya untuk dibaca. Tapi saya enggak baca karena memang tidak tertarik. Saya bilang, saya pegang raket saja diketawain. Kalau lawan ibu PKK saya siap," kata Lia yang sedang menjalani Pendidikan Profesi Guru (PPG) dalam jabatan Universitas Islam Malang ini.
Sampai suatu saat, guru olahraga tersebut mengajak Lia untuk membantunya menjadi hakim garis di sebuah pertandingan kecil. "Jadi ternyata saat itu beliau sedang mengajar privat dan saya diminta untuk jadi hakim garisnya. Beliau bilang, kamu kan anak kuliahan, nanti bisa dapat tambahan duit (jadi hakim garis). Akhirnya dari situlah saya belajar," kata Lia.
ADVERTISEMENT
Berawal dari coba-coba, oleh koordinator wasit di Surabaya Lia diikutkan pelatihan dan menjalani ujian wasit tingkat provinsi. Hasilnya, Lia lulus. Lia bercerita awal memimpin pertandingan dirinya 'babak-belur' karena banyak diprotes pemain.
"Sampai ada yang teriak kok begitu keputusannya. Ada yang bilang ini wasit lulusan mana, harus sekolah wasit lagi," kata Lia tertawa mengingat kejadian tersebut.
Dengan dukungan dari koordinator wasit yang mempercayainya, Lia diminta untuk membaca lagi buku Law of Badminton. "Ini ilmu yang bisa dipelajari, dan Law of Badminton itu memang teksnya berbahasa Inggris. Segala aturan dan instruksi semua dalam Bahasa Inggris. Ini jadi catatan juga untuk bisa menerjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia," kata Lia.
Setelah makin terlatih memimpin pertandingan, Lia ternyata harus vakum sementara karena hamil dan melahirkan. "Bulan 9 Tahun 2003 saya melahirkan, dan di bulan 12 ada ujian wasit di Bali. Padahal selama hamil dan melahirkan kan saya tidak ikut turnamen apapun. Saya agak nggak percaya diri kalau menghadapi pemain yang tricky karena cuti lama. Akhirnya setelah saya dinyatakan lulus ujian, saya minta untuk diundang ke semua turnamen badminton besar atau kecil untuk mengembalikan mental dan rasa percaya diri saya," kata Lia.
ADVERTISEMENT
Pada tahun 2005 Lia dinyatakan lulus ujian Wasit Nasional A dan menempatkannya di posisi 3 terbaik. Setelah itu, secara bertahap di tahun-tahun berikutnya Lia dinyatakan lulus ujian wasit di Asia hingga pada 2017 Lia lulus ujian wasit Badminton World Federation Certified Umpire. Dengan sertifikasi dari BWF ini, Lia sudah memegang sertifikasi wasit di level tertinggi untuk badminton internasional.
Lalu bagaimana Lia bisa menjadi wasit untuk Olimpiade?
"Jadi sebenarnya juga kaget. Karena dengan sertifikasi wasit BWF yang saya pegang di 2017, seharusnya ada waktu tunggu untuk bisa jadi wasit di olimpiade. Tapi karena ada kuota wasit perempuan sebanyak 30 persen sebagai bentuk gender equity (kesetaraan gender), maka saya terpilih untuk jadi wasit olimpiade," kata Lia.
ADVERTISEMENT
Salah satu tantangan menjadi wasit dalam badminton adalah adanya sistem rally point. "Sebagai wasit kita tahu kalau satu poin itu sangat berharga dalam sistem rally point. Karena itu kita harus pasang alertness tinggi, siap siaga tinggi, karena kalau kita meleng sedikit, dan kesalahan ada di kita, itu pemain tidak akan mengalah. Kita menganggap setiap permainan sebagai final karena mereka membela negara masing-masing. Jadi untuk 1 poin saja mereka akan fight," kata Lia.
Biasanya, kata Lia, pemain dari Eropa lebih kritis untuk menyatakan keberatan pada wasit. "Tapi kalau kita memberi jawaban yang masuk akal, logis, mereka tidak akan memperpanjang. Mereka akan menerima dan main kembali. Siapapun itu, apalagi kalau kita stick to the rules, mereka akan langsung patuh," kata Lia.
ADVERTISEMENT
Lia menyatakan, ada banyak pelajaran penting dari profesi wasit yang sejalan dengan profesi guru. Setidaknya ada tiga hal yang digaris bawahi yaitu kedisiplinan dan semangat terus belajar. "Punctuality atau ketepatan waktu itu sangat penting. Profesi wasit juga guru itu perlu manajemen waktu yang bagus dan ini selalu saya ingatkan ke anak-anak untuk disiplin. Selain itu, kita juga tidak boleh mudah menyerah. Meskipun saya sudah memegang sertifikasi wasit BWF, tapi harus tetap mengikuti perkembangan badminton itu sendiri. Harus terus membaca Law of Badminton dan The Instructions to Technical Officials untuk refreshing memory," kata Lia yang masih tetap mengajar daring selama di Olimpiade Tokyo.
Saat ini baik Lia maupun Wahyana masih menjalani karantina di sebuah hotel Jakarta. Menurut rencana, keduanya akan kembali ke daerah masing-masing pada 12 Agustus 2021.
ADVERTISEMENT