Inovasi Profesor Prastiya Tangani Epilepsi, Bisa Hentikan Kejang dalam 45 Detik

Konten Media Partner
24 Oktober 2023 10:32 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Guru Besar Fakultas Kedokteran (FK) Unair Prof. Dr. Prastiya Indra Gunawan, dr., SpA(K). Foto: Masruroh/Basra
zoom-in-whitePerbesar
Guru Besar Fakultas Kedokteran (FK) Unair Prof. Dr. Prastiya Indra Gunawan, dr., SpA(K). Foto: Masruroh/Basra
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Kejang sering terjadi pada anak. Sayangnya, hasil pendiagnosaan kejang sebagai epilepsi atau bukan yang selama ini menggunakan pemeriksaan elektroensefalografi (EGG) kerap menemui kesalahan.
ADVERTISEMENT
“Akibatnya, hasil EEG sering salah arti sehingga menyebabkan pendiagnosaan yang berlebihan tentang epilepsi dan obat antiepilepsi berkepanjangan yang sebenarnya tidak perlu,” ujar Guru Besar Fakultas Kedokteran (FK) Unair Prof. Dr. Prastiya Indra Gunawan, dr., SpA(K), kepada Basra.
Prof Prastiya mengungkapkan, salah satu tantangan dalam tata laksana penanganan epilepsi adalah keterbatasan alat diagnostik. Begitu banyak kelainan yang menyerupai kejang yang memungkinkan terjadi misdiagnosis.
Tata laksana kejang adalah pemberian diazepam via rektal tetapi terkadang terdapat kendala.
Pemeriksaan EEG pada saat terjadi serangan (kejang) terkadang dapat membantu menentukan apakah serangan merupakan kejang epileptik atau bukan.
Tetapi, layanan EEG tersedia hanya di tiga perempat negara sumber daya terbatas. Namun sebagian besar dikelola oleh personel yang tidak memiliki pelatihan formal melakukan rekaman EEG.
ADVERTISEMENT
"Akibatnya, hasil EEG sering disalahartikan sehingga menyebabkan diagnosis yang berlebihan tentang epilepsi dan obat antiepilepsi berkepanjangan yang sebenarnya tidak perlu," jelasnya.
Untuk mengatasi masalah itu, ia mengatakan bahwa International League Against Epilepsy (ILAE) telah berusaha untuk menyetarakan kemampuan pembaca EEG melalui program sertifikasi internasional.
Sehingga diharapkan pembacaan EEG dari negara dengan sumber daya terbatas sudah setara secara internasional.
Tantangan lain dalam epilepsi disebutnya, adalah terbatasnya pilihan obat antiepilepsi yang tersedia.
Prof Prastiya menyebut, untuk menangani kejang adalah dengan pemberian diazepam via rektal (lubang akhir untuk mengeluarkan feses) tetapi mempunyai kendala untuk menggunakannya. Misalnya, saat pasien mengalami diare.
Sehingga, ia melakukan terobosan inovasi dengan melakukan penelitian klinis penggunaan midazolam intravena yang diberikan secara injeksi ke dalam otot tubuh (intramuscular) ataupun pemberian obat melalui hidung (intranasal).
ADVERTISEMENT
“Hasilnya cukup menjanjikan, bahwa midazolam intramuscular atau intranasal lebih efektif dibandingkan dengan diazepam rektal,” ungkapnya.
Dipaparkan Prof Prastiya, midazolam intramuscular mampu menghentikan kejang dalam tempo 45 detik, sedangkan midazolam intranasal mampu menghentikan kejang dalam tempo 42 detik dibandingkan dengan diazepam rektal yang mencapai 180 detik.
Obat-obatan tersebut telah banyak tersedia sehingga secara praktis bisa digunakan dengan optimal.
Ia mengatakan, bahwa penelitiannya tentang efikasi topiramate sebagai monoterapi pasien epilepsi anak memberikan hasil reduksi frekuensi kejang yang signifikan.
"Penelitian kami juga menunjukkan bahwa pemberian midazolam intamuskular dan intranasal lebih efektif dibandingkan dengan diazepam rektal dalam menghentikan kejang," katanya.
Menurutnya, mengobati epilepsi memiliki beberapa tantangan. Selain berurusan dengan perangkat diagnostik yang sulit, terkadang harus berhadapan dengan epilepsi resisten obat yakni epilepsi yang kejangnya tidak berespons terhadap dua obat anti kejang dengan dosis adekuat.
ADVERTISEMENT
“Penelitian kasus epilepsi anak yang kami tangani, terdapat 54% pasien dinyatakan mengalami epilepsi resisten obat,” ungkapnya.
Disebutnya, alternatif pengobatan epilepsi resisten obat adalah bedah epilepsi. Namun, tidak semua pusat fasilitas kesehatan mempunyai kemampuan untuk tindakan bedah epilepsi.
“Penentuan tindakan bedah epilepsi harus melalui diskusi multi disiplin. Teknik hemisferektomi adalah prosedur yang paling sering dikerjakan untuk kasus epilepsi yang sulit,” ungkapnya.
Selain itu, ia menyebut epilepsi center sangat diperlukan untuk melakukan diagnostik dan tatalaksana epilepsi yang komprehensif berbasis multidisiplin.
“Kunci untuk memulai epilepsi center ini adalah “assembly the right team with the right people” yang mempunyai pendekatan yang sama untuk menangani epilepsi,” tandasnya.