Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.100.8
29 Ramadhan 1446 HSabtu, 29 Maret 2025
Jakarta
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten Media Partner
Isu STNK Mati 2 Tahun Kendaraan Akan Disita, Pakar di Surabaya Sampaikan Hal Ini
24 Maret 2025 8:02 WIB
·
waktu baca 2 menit
ADVERTISEMENT
Isu penyitaan kendaraan dengan STNK mati dua tahun yang dikabarkan berlaku April 2025 menimbulkan keresahan. Meski kepolisian menegaskan aturan tilang tidak berubah, informasi di media sosial memicu polemik. Masyarakat, terutama kelas menengah ke bawah, khawatir kebijakan ini justru semakin memberatkan mereka yang kesulitan membayar pajak kendaraan.
ADVERTISEMENT
Pakar Sosiologi sekaligus Dekan FISIP Unair, Prof Dr Bagong Suyanto Drs M.Si menilai isu ini harus dilihat dalam konteks keadilan sosial.
“Kewajiban membayar pajak berlaku universal. Siapa pun wajib membayar pajak sesuai hak dan kewajibannya. Kalau ada warga yang kesulitan membayar pajak, tentu bisa dilakukan diskresi,” ungkap Prof Bagong dalam keterangannya, seperti dikutip Basra, Senin (24/3).
Namun, permasalahan utama bukan sekadar masyarakat kecil yang menunggak pajak, melainkan bagaimana para kelompok ekonomi atas justru lebih lihai dalam menyiasati kewajiban perpajakan mereka.
“Skandal yang terjadi selama ini di birokrasi pemerintah soal pajak membuktikan bahwa isu ini membutuhkan konsistensi,” tegasnya.
Masyarakat kelas bawah seringkali terjebak dalam kesulitan ekonomi berpotensi menjadi kelompok yang paling rentan oleh kebijakan ini. Mereka tidak hanya mengalami kesulitan dalam membayar pajak kendaraan, tetapi juga akan terancam kehilangan kendaraan yang mereka gunakan untuk mencari nafkah jika aturan penyitaan diberlakukan tanpa adanya mekanisme keringanan.
ADVERTISEMENT
Menurutnya, perlu kebijaksanaan dari para elit politik untuk menerapkan pemutihan pajak, terutama situasi ekonomi sedang sulit seperti saat ini. Jika tidak ada kebijakan yang lebih fleksibel, kebijakan ini dapat memperburuk kesenjangan sosial dan ekonomi.
Dalam konteks penerapan tilang elektronik (ETLE), Prof Bagong mengungkapkan bahwa sistem ini memiliki keterbatasan dalam melakukan diskresi.
“Tilang elektronik tidak memungkinkan adanya diskresi,” ujarnya.
Ini berarti bahwa sistem akan menindak pelanggar secara otomatis, tanpa mempertimbangkan kondisi ekonomi atau alasan di balik keterlambatan pembayaran pajak kendaraan.
Meski pihak kepolisian menegaskan bahwa tidak ada perubahan aturan tilang dan tetap mengacu pada regulasi yang sudah ada. Namun, fakta bahwa isu ini menimbulkan kegelisahan di masyarakat menunjukkan adanya celah dalam sistem sosialisasi kebijakan.
ADVERTISEMENT
Di satu sisi, pemerintah ingin meningkatkan kepatuhan pajak kendaraan. Namun di sisi lain, tanpa adanya mekanisme perlindungan bagi masyarakat kecil, kebijakan ini bisa berujung pada ketidakadilan sosial.
"Perlu sistem keringanan atau cicilan pajak bagi warga kurang mampu, sementara pelaku usaha besar harus diawasi ketat agar tak menghindari pajak. Jika tak seimbang, kebijakan ini bisa memperlebar kesenjangan sosial,” pungkasnya.