Jelang HUT Kemerdekaan RI ke 77, Pemuda Buddha Serukan Tangkal Radikalisme

Konten Media Partner
8 Agustus 2022 14:03 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Jelang HUT Kemerdekaan RI ke 77, Pemuda Buddha Serukan Tangkal Radikalisme
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Jelang Hari Jadi Republik Indonesia ke-77, Young Buddhist Association Indonesia mengajak generasi muda di negeri ini untuk bersama menangkal bahaya radikalisme dan ekstremisme.
ADVERTISEMENT
"Radikalisme dan ekstremisme bisa dihambat perkembangannya dengan orang baik dan yang toleran, mulai bersama komunitasnya beraksi. Apabila kita diam dan acuh tak acuh melihat situasi krisis itu, maka oknum radikal dan ekstrim pemenangnya," jelas Billy Lukito Joeswanto, dari Young Buddhist Association Indonesia, dalam forum dialog lintas agama dan etnis yang di gelar secara daring di Surabaya, Senin (8/8).
Dalam kesempatan yang sama, Wawan Gunawan, aktivis kemanusiaan di Indonesia, mengungkapkan radikalisme muncul dari bagaimana seseorang menempuh kehidupan keagamaan. Hal ini merupakan gejala yang terjadi di beberapa lapisan kehidupan dari sosial, individu serta dari sisi keagamaan dan politik.
"Pada dunia media sosial sekarang ini sangat dibutuhkan beberapa filter, dari diri sendiri, sosial, dan politik. Kebijakan pemerintah dalam dunia agama akan menjadi peran penting dalam mewujudkan masyarakat yang toleran dan dapat menghadapi radikalisme. Toleransi yang dijalani masyarakat Indonesia bukan hanya sikap menghormati adanya perbedaan, tetapi juga berfungsi untuk menegaskan perbedaan yang dibutuhkan untuk memunculkan kerja sama dalam perbedaan, dan saling mendorong dalam hal yang positif dalam perbedaan, sebagaimana fungsi Pancasila di Indonesia yang dihidupi oleh semua agama," tukasnya.
ADVERTISEMENT
"Dia (Pancasila) bukan agama, tetapi mengakomodasi semua agama dan menjadi titik temu. Penting bagi kita sebagai masyarakat untuk sadar kembali tentang Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika," sambungnya.
Hal serupa di kemukakan pula oleh Biksu Bhante Dhirapunno. Ia menegaskan dalam radikalisme dan ekstremisme yang penuh emosi pada media sosial, masyarakat harus sadar agak tidak membawa penderitaan bagi diri sendiri dan membawa penurunan toleransi dalam pergaulan dan komunitas di sekitar.
"Perlu kita renungkan bahwa cinta kasih yang diajarkan semua agama tidak merugikan orang lain dan diri sendiri. Jaga pikiran, jaga ucapan, jaga mata, jaga jari di medsos. Jalan hidup ini, kemanapun kita melangkah tinggalkan jejak kebaikan dan kebenaran. Menjaga pikiran adalah sebuah proses latihan. Perjuangan bertoleransi tidak akan ada finishnya. Karena akan selalu ada yang tidak toleransi dan ada orang-orang seperti kita yang selalu berjuang untuk menghadapi toleransi," tegasnya.
ADVERTISEMENT
Eow Shiang Yen, General Secretary Young Buddhist Association of Malaysia menjelaskan, perbedaan budaya dan kebebasan beragama adalah napas. Kebebasan beragama membawa berkah bagi banyak orang secara keseluruhan. Karena itu ia menegaskan jika seseorang perlu mempromosikan pemahaman yang lebih baik dan hubungan yang lebih baik terkait perbedaan dan juga bagaimana mengelolanya.
"Kita memiliki pengalaman unik yang mendalam tentang kerja sama Indonesia dan Malaysia, untuk menggabungkan solusi dari banyak ras atau agama untuk mencegah radikalisme dan ekstremisme kekerasan. Seperti yang dinyatakan oleh Buddha, Jalan Tengah adalah yang terbaik untuk masalah ini. Tidak terlalu ekstrim dan tidak terlalu pasif adalah cara menghadapi ekstremisme dan radikalisme," tuturnya.
Adapun Aizat Shamsuddin selaku Founder and Director Komuniti Muslim Universal (KMU malaysia) mengatakan ideologi ekstremisme berperan dalam radikalisasi masyarakat. Kelompok ekstremisme menggunakan media sosial untuk menyebarkan kebencian dan kekerasan pada masyarakat luas.
ADVERTISEMENT
"Untuk mengatasinya kita perlu meningkatkan kehadiran media sosial kita, karena itulah sumber informasi. Kita semua memiliki peran untuk dimainkan di komunitas kita sendiri. Kita harus mencoba yang terbaik untuk mempromosikan kepositifan, kedamaian, kasih sayang, dan kebaikan," ungkapnya.
Aktivis kemanusiaan dari Malaysia ini menyatakan, pendidikan yang lebih holistik dan lebih terintegrasi perlu dilakukan di sekolah. Hubungan baik antar agama dan etnis perlu di lakukan.
"Kita membutuhkan pertukaran budaya untuk mempererat hubungan dan pertukaran ilmu dalam berbagai aspek. Kita berdua dari Indonesia dan Malaysia bisa saling belajar bersama untuk menangkal bahaya radikalisme dan ekstremisme," tandasnya.