Jeritan Hati Para Pemain Ludruk saat Gedung Seni THR Surabaya Ditutup

Konten Media Partner
29 Mei 2019 14:34 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Anak-anak Sanggar Putra Taman Hira Surabaya. Foto : Masruroh/Basra
zoom-in-whitePerbesar
Anak-anak Sanggar Putra Taman Hira Surabaya. Foto : Masruroh/Basra
ADVERTISEMENT
Puluhan anak-anak asyik berlatih tari Remo di pelataran gedung Pringgodani, kompleks kampung seni Taman Hiburan Rakyat (THR), Selasa malam (28/5). Dengan bermodal sound seadanya, pertunjukan malam itu tetap meriah dan bersemangat, meski sebenarnya ada kesedihan mendalam yang sedang disembunyikan. Bagaimana tidak, sejak Selasa, 14 Juni 2019, kompleks kampung seni THR secara keseluruhan ditutup.
ADVERTISEMENT
Sejak 9 Mei 2019, anak-anak yang tergabung dalam sanggar ludruk sanggar Putra Taman Hira, tak bisa lagi berlatih maupun pentas di dalam gedung Pringgodani seperti biasanya. Gedung bercat biru itu telah tergembok.
Kesedihan anak-anak itu makin bertambah manakala seperangkat gamelan dan dekorasi panggung yang biasa dipakai untuk pentas telah dipindahkan dari gedung Pringgodani.
"Enggak tahu gamelan dan dekorasinya dipindah ke mana, awalnya bilang gamelan akan dibawa ke Korea, tapi enggak tahu benar apa enggak?" kata Sugeng Rogo Wiyono, pembina sekaligus pendiri sanggar Putra Taman Hira, saat dikunjungi Basra, Selasa (21/5) malam.
Isi edaran pemindahan gedung latihan dari komplek seni THR ke Balai Pemuda. Foto : Masruroh/Basra
Mata Rogo memerah, sambil menahan air matanya, ia bercerita selain diminta mengosongkan gedung Pringgodani, seniman ludruk di kompleks kampung seni THR juga sudah tidak diperbolehkan berlatih maupun menggelar pementasan oleh Pemerintah Kota Surabaya.
ADVERTISEMENT
"Kita dikasih waktu sampai tanggal 14 Juni mengosongkan tempat ini, untuk latihan maupun pentas kita diminta ke Balai Pemuda. Iya kita memang dijemput kalau mau pentas di Balai Pemuda, tapi pakai truk Satpol PP. Kita seperti korban cakupan (razia, red) saja," kisah pria kelahiran 1958 ini.
Menurut Rogo perintah mengosongkan gedung Pringgodani merupakan perbuatan tak manusiawi. Ia menilai dedikasinya terhadap kesenian ludruk di Surabaya, yang hampir punah itu seolah tak diapresiasi pemerintah.
Rogo menegaskan jika dirinya dan seniman ludruk lainnya di kompleks kampung seni THR tak keberatan jika alasan pengosongan tersebut karena adanya renovasi. Namun Rogo menyayangkan perlakukan yang harus mereka terima.
"Mbok, ya kita ini dipanggil dulu, diberitahu sebelumnya kalau tempat ini harus dikosongkan untuk renovasi. Tapi kan ini enggak, tiba-tiba gamelan dan seluruh isi gedung Pringgodani diangkut. Dan itu dilakukan di depan anak-anak. Nangis mereka," jelas Rogo dengan suara parau menahan tangis.
Sugeng Rogo Wiyono. Foto : Masruroh/Basra
Kalaupun hingga detik ini, sanggar Putra Taman Hira masih menggelar latihan di kompleks kampung seni THR, itu tak lain karena Rogo melihat semangat anak didiknya. Meski telah mendapat perlakuan menyakitkan, namun mereka masih semangat berlatih.
ADVERTISEMENT
"Tadinya mereka sempat nge-drop, dan nangis-nangis. Mereka bilang 'Pak, kita nanti latihannya bagaimana?' Tapi saya terus membesarkan hati mereka dan meminta mereka untuk tidak memikirkan tempat latihan karena sudah ada yang mengurusi," tukas Rogo.
Rogo bersyukur di tengah ujian yang harus diterima para seniman tradisional di kompleks kampung seni THR, dukungan masyarakat dari berbagai elemen terus mengalir. Kalangan aktivis, media, hingga seniman dari kota-kota lain terus memberikan dukungan kepada Rogo dan yang lainnya.
"Alhamdulillah, ada banyak dukungan dari masyarakat. Makanya kami masih semangat berlatih di sini," tegas Rogo.
Terkait permintaan Pemkot Surabaya untuk melakukan latihan maupun pentas di Balai Pemuda, Rogo tegas menyampaikan keberatannya. Menurut Rogo, gedung pentas Balai Pemuda tak mendukung untuk kesenian tradisional seperti ludruk, ketoprak, maupun wayang orang.
ADVERTISEMENT
"Memang tempatnya bagus, tapi kurang mendukung untuk kesenian tradisional. Di sana tidak bisa bikin efek-efek seperti bikin angin, hujan, maupun petir. Di sana latar panggungnya hanya ditutupi kain hitam, itu kan cocoknya untuk pementasan teater," keluh Rogo. (Reporter : Masruroh / Editor : Windy Goestiana)