Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 ยฉ PT Dynamo Media Network
Version 1.96.0
Konten Media Partner
Kampung Plampitan, Sentra Kerajinan Tikar Zaman Belanda di Surabaya
11 Agustus 2019 8:30 WIB
ADVERTISEMENT
Ada banyak nama unik untuk kampung-kampung tua di Surabaya. Penamaan kampung-kampung tersebut berdasarkan sejarah yang terjadi disana. Kali ini Basra mengunjungi salah satu kampung tua di Surabaya, Kampung Plampitan, yang terletak di Kelurahan Peneleh, Kecamatan Genteng.
ADVERTISEMENT
"Dari cerita turun temurun, kampung ini dulunya pusat pembuatan tikar zaman Belanda. Seperti namanya 'Plampitan' berasal dari kata Lampit yang artinya tikar," kata Kakek Kemas (78) kepada Basra, Sabtu (10/8).
Sayangnya tak ada jejak artefak yang tersisa dari sentra kerajinan tikar di kampung tersebut saat zaman kolonial Belanda. Sejarah penamaan kampung hanya diperoleh dari cerita warga setempat secara turun temurun.
Meski demikian, keberadaan Kampung Plampitan sebagai kampung tua di Surabaya tak terbantahkan dengan masih adanya bangunan rumah kuno bergaya kolonial Belanda. Salah satunya adalah rumah lahir Roeslan Abdulgani, tokoh pejuang kemerdekaan 1945. Rumah lahir Roeslan Abdulgani terletak di Plampitan gang VIII.
Masih satu kawasan dengan rumah lahir Roeslan Abdulgani, terdapat sebuah makam kuno. Makam yang terletak di dalam bangunan berlantai keramik dengan pagar stainless itu merupakan makam Kyai Pasopati dan istrinya. Kyai Pasopati merupakan salah satu murid Sunan Ampel. Ini merujuk pada sebuah plakat tulisan di dinding dekat pintu makam.
ADVERTISEMENT
Sayangnya pada plakat tulisan di dinding makam tersebut tak ada keterangan tentang jati diri Kyai Pasopati. Basra pun mencoba mengorek keterangan tentang makam tua tersebut kepada warga setempat. Namun kebanyakan warga tak mengetahui secara pasti tentang sosok Kyai Pasopati.
"Saya kurang tahu sejarah dari Kyai Pasopati. Yang saya tahu, beliau merupakan tokoh sesepuh di kampung ini dan murid Sunan Ampel. Kata orang tua saya, makam Kyai Pasopati sudah lama ada, sudah sejak ratusan tahun," jelas Pak Kemas.
Hal senada juga diungkapkan Rahma Rondang Aristin, keponakan Roeslan Abdulgani. Rahma yang menempati rumah lahir Roeslan Abdulgani itu menuturkan jika Kyai Pasopati merupakan salah satu murid Sunan Ampel.
"Cerita dari Pakde (Roeslan Abdulgani,red) Kyai Pasopati adalah murid Sunan Ampel yang membantu berdirinya Masjid Peneleh. Itu saja cerita yang saya dapat," kata Rahma.
ADVERTISEMENT
Selain rumah lahir Roeslan Abdulgani, bangunan kuno lainnya yang dijumpai Basra adalah bangunan balai rukun warga (RW). Bangunan bercat hijau itu terletak di pintu masuk gang Plampitan Pasopati, tak jauh dari makam Kyai Pasopati.
Menurut Kakek Kemas, bangunan Balai RW itu tak berubah fungsi sejak awal. Hanya saja dulunya bangunan tersebut dikenal dengan nama Balai RK.
"Dulu jaman Belanda namanya Balai Rukun Kampung (RK,red). Fungsinya juga sama seperti sekarang, sebagai tempat pertemuan warga," kata kakek Kemas.
Jejak Kampung Plampitan sebagai kampung kuno di Surabaya diperkuat dengan posisinya yang berada di bantaran lir Brantas. "Salah satu ciri kampung kuno di Surabaya yang sudah ada sejak sebelum zaman kolonial Belanda adalah keberadaannya di sepanjang lir Brantas," kata Sejarahwan Kuncarsono Prasetyo. (Repoter : Masruroh / Editor : Windy Goestiana)
ADVERTISEMENT