Kasus Polisi Cabuli Anak Tiri, Ini Ciri Anak Jadi Korban Kekerasan Seksual

Konten Media Partner
24 April 2024 7:11 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi anak korban kekerasan seksual. Foto: Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi anak korban kekerasan seksual. Foto: Pixabay
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Nasib pilu harus dialami anak di Surabaya berinisial AA (15) yang menjadi korban pencabulan ayah tirinya yang berprofesi polisi. Oknum polisi berinisial Aipda K (50) itu telah mencabuli anak tirinya sejak 2020 saat korban masih duduk di bangku kelas 5 SD.
ADVERTISEMENT
Kasus tersebut menambah daftar anak di Surabaya yang menjadi korban kekerasan seksual oleh kerabat dekatnya sendiri.
Tentu menjadi pertanyaan, bagaimana bisa kerabat terdekat tega melakukan kekerasan seksual terhadap anak? Jika kerabat terdekat anak saja menjadi pelaku atas pelanggaran perlindungan anak, ke mana anak akan berlindung?
Dosen Ahli Psikologi Sosial Universitas Airlangga (Unair) Dr Ike Herdiana MPsi Psikolog mengungkapkan, ada banyak faktor yang memengaruhi terjadinya kekerasan seksual terhadap anak.
“Lebih banyak faktor kemiskinan, kurangnya wawasan, pendidikan rendah dan faktor personal lain. Pelaku juga bisa saja orang yang memiliki masa lalu buruk sebagai korban atau berasal dari keluarga yang tidak harmonis, hingga konflik dengan perkawinan,” papar Ike, dalam keterangannya seperti dikutip Basra, Selasa (23/4) malam.
ADVERTISEMENT
Menurutnya, segala perbuatan orang dewasa terhadap anak tentu akan meninggalkan jejak dan bayang-bayang bagi anak. Jika orang tua dan kerabat terdekat dapat berlaku baik dalam tumbuh kembangnya, pengalaman baik akan terus membersamai anak. Sebaliknya, jika anak mendapatkan perlakuan buruk pada masa tumbuh kembangnya, akan ada bayangan buruk yang terus menghantui anak.
Banyak menjadi masalah saat pengalaman buruk tersebut menghantui anak selama tumbuh kembangnya. Ike menyampaikan bagaimana dampak psikologis yang akan dialami sang anak jika menjadi korban kekerasan seksual.
Ia menyampaikan, risiko akan munculnya perasaan pantas mendapatkan perlakuan yang dialaminya. Selain itu, akan muncul rasa bersalah, malu, dan tidak berdaya.
“Kemudian, percaya bahwa mereka tidak diinginkan dan tidak layak untuk dicintai atau dihormati, ada rasa takut untuk melakukan sesuatu yang membuat pelaku kesal, mengalami susah tidur, berkonsentrasi, hingga sulit melakukan aktivitas yang sebelumnya mereka sukai,” ungkapnya.
ADVERTISEMENT
Kemudian, pada beberapa kasus, pelaku kerap kali mengancam korban jika korban melapor. Sehingga, anak memilih diam. Padahal, anak sebagai korban tidak seharusnya berada terus-terusan di dekat pelaku. Karena harus ada langkah penanganan dan pemulihan agar kejadian tidak terulang kembali. Ada beberapa poin yang perlu dikenali oleh orang tua atau kerabat terdekat lainnya, sebagai tanda jika anak mengalami tindak kekerasan seksual.
“Dapat dilihat pada ciri-ciri seperti mimpi buruk, sulit tidur dan mengigau, tampak lebih murung, tiba-tiba menjadi pemberontak, pemarah, dan impulsive, takut dengan orang yang memiliki ciri yang mirip dengan pelaku, takut dengan barang yang berhubungan dengan kejadian, hingga tindakan sengaja membahayakan diri,” papar Ike.
Kemudian, anak, dapat dipindahkan ke rumah aman agar berjarak dari pelaku. Anak tetap perlu didampingi oleh keluarga yang dapat bertanggung jawab atas kondisi anak pasca kejadian.
ADVERTISEMENT
“Intinya, anak harus dijauhkan dari pelaku, pendampingan psikologis tetap harus dilakukan, dan pelaku harus diproses secara hukum,” tandasnya.