Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten Media Partner
Kata Pakar Soal Debat Pilkada di Sejumlah Wilayah Jadi Cibiran Netizen
4 November 2024 7:45 WIB
·
waktu baca 3 menitADVERTISEMENT
Debat pilkada di sejumlah wilayah tuai kritik pedas oleh netizen, pasalnya dalam debat tersebut banyak program yang dinilai tidak berkualitas, minim gagasan subtansi bahkan lemah secara intelektual. Padahal masyarakat berharap para kandidat menampilkan visi dan misi terbaik dengan program kerja yang jelas dan terukur sesuai persoalan yang dihadapi di daerah.
ADVERTISEMENT
Misalnya Calon Bupati Nganjuk Ita Triwibawati yang ramai diperbincangkan di media sosial usai debat pilkada. Pasalnya, dalam debat tersebut Ita menyampaikan salah satu rencana programnya, yakni berinovasi mengubah padi menjadi beras. Dia juga mengatakan akan berinovasi mengubah bawang menjadi bawang goreng.
Selanjutnya debat perdana pilkada Muba 2024 yang digelar Kamis (31/10) malam menuai kritik. Pasalnya, program Rp25 juta per KK yang disampaikan calon bupati nomor urut 02 HM Toha Tohet justru dinilai tidak masuk akal diterapkan dengan APBD Muba yang dikhawatirkan bisa membuat defisit.
Radius Setiyawan Dosen Kajian Media dan Budaya UMSurabaya mengatakan, apa yang terjadi soal beberapa calon kepala daerah yang menjadi olok-olok para netizen adalah contoh bahwa viralitas media sosial mampu mereduksi kualitas kandidat.
ADVERTISEMENT
“Meski tidak selalu berbanding dengan elektabilitas, tetapi apa yang muncul di khalayak harus menjadi perhatian calon kepala daerah,” kata Radius dalam keterangannya, seperti dikutip Basra, Senin (4/11).
Menurut Radius, ada dua faktor yang melatarbelakangi terkait ini. Pertama soal kegagalan partai dalam melakukan seleksi atau kaderisasi untuk menciptakan calon kepala daerah berkualitas secara intelektual.
“Sehingga beberapa gagasan atau ide yang ditawarkan cenderung tidak masuk akal dan cenderung menjadi bahan bully netizen,” tegasnya.
Kedua, kegagapan dalam memahami persoalan di masyarakat, akibatnya apa yang disampaikan cenderung jadi olok-olok. Radius menegaskan memahami persoalan di masyarakat butuh perspektif dan pengalaman. Ketika dua hal tersebut tidak mampu dipunyai, maka ide atau gagasan cenderung kosong dan berjarak dengan kebutuhan masyarakat.
ADVERTISEMENT
Selanjutnya, Radius juga mengaitkan hal ini dengan viralitas. Menurutnya viralitas layaknya dua belah mata pisau, di satu sisi dapat membawa citra menjadi lebih baik atau malah sebaliknya. Ia menegaskan, banyak sesuatu yang viral mampu merubah sesuatu. Dalam banyak kasus, sosial media mampu menjadi alat protes yang efektif.
Ia menjelaskan, viralitas adalah kekuatan yang strategis untuk mendorong kebijakan maupun melawan kekuasaan, tetapi, viralitas juga mampu membongkar kualitas seseorang hingga menurunkan elektabilitas.
“Viralitas di media sosial kerap memantik sebuah perdebatan ruang digital menjadi sangat keruh, penuh buzzer (pendengung),” katanya lagi.
Radius berharap agar debat yang terjadi di sejumlah wilayah di Indonesia bukan hanya sebagai ajang pamer jargon atau visi misi di ruang digital tanpa benar-benar menyentuh subtansi, atau minim pembahasan mendalam tentang persoalan kompleks yang terjadi saat ini.
ADVERTISEMENT
“Ruang digital adalah saluran strategis menyalurkan isi kepala, murah dan efektif. Banyak citra diri dibangun di ruang tersebut, tetapi bisa menjadi alat bunuh diri kalau tidak cerdas memanfaatkannya,” jelasnya.
Di tengah arus kecepatan ruang digital, akhirnya media sosial memungkinkan seseorang menyiarkan minat-minat personal dalam bentuk-bentuk yang tak terbilang banyaknya, termasuk pandangan politik pada orang banyak sehingga kontrol informasi semakin sulit.