Konten Media Partner

KemenPPPA: Perempuan dan Anak yang Jadi Korban Perdagangan Orang Naik 62,5%

30 Juli 2021 6:14 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Gambar oleh Isabella Quintana dari Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Gambar oleh Isabella Quintana dari Pixabay
ADVERTISEMENT
Jumlah perempuan dan anak-anak yang menjadi korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) terus meningkat. Berdasarkan data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI PPA) tahun 2020, kasus TPPO pada perempuan dan anak mengalami peningkatan hingga 62,5 persen.
ADVERTISEMENT
Menurut Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan, Ratna Susianawati pada peringatan Hari Dunia Anti Perdagangan Orang, mayoritas korban perdagangan orang adalah 2319 perempuan dan 329 laki-laki berdasarkan laporan lima tahunan Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang (GTPP-TPPO) pada tahun 2015-2019.
"Angka ini menunjukkan, kasus TPPO semakin meningkat dan perempuan banyak yang menjadi korbannya. Untuk itu, Hari Dunia Anti Perdagangan Orang mengingatkan kita bahwa isu TPPO harus menjadi perhatian semua pihak, mulai dari pemerintah, dunia usaha, media, organisasi, lembaga masyarakat, serta seluruh masyarakat,” ujar Ratna dalam Webinar Penegakan Hukum TPPO 2021, secara virtual, Kamis (29/7).
Bentuk-bentuk perdagangan orang yang terjadi di Indonesia menurut Laporan Tahunan Perdagangan Orang 2020 yang dikeluarkan Kedutaan Besar dan Konsulat Amerika Serikat di Indonesia meliputi eksploitasi tenaga kerja di bidang penangkapan dan pengolahan ikan, bidang konstruksi, berbagai perkebunan termasuk kelapa sawit, pertambangan, dan manufaktur.
ADVERTISEMENT
Pelaku perdagangan orang juga mengeksploitasi perempuan dewasa dan remaja untuk kerja paksa di sektor jasa rumah tangga. Selain itu, pelaku perdagangan manusia dapat menjerumuskan anak-anak dalam tindak kriminal terkait produksi, penjualan, dan pengangkutan obat-obatan terlarang.
Ada juga praktik pernikahan dini mendorong banyak anak di bawah umur (terutama masyarakat pedesaan yang miskin) untuk bekerja sebagai pencari nafkah utama bagi rumah tangga mereka. Fenomena ini mendorong tingginya insiden perekrutan pekerja anak dengan cara menipu, menggunakan jeratan utang, dan indikator kerja paksa lainnya.
Pelaku perdagangan seks sering memanfaatkan utang atau tawaran pekerjaan di restoran, pabrik, atau sebagai asisten rumah tangga untuk memaksa dan menipu perempuan dewasa dan gadis remaja agar terjebak dalam eksploitasi seks komersial di seluruh Indonesia, terutama di Batam dan Jakarta. Pelaku perdagangan orang juga mengeksploitasi perempuan dewasa dan gadis remaja dalam perdagangan seks di dekat area  pertambangan di provinsi Maluku, Papua, dan Jambi.
ADVERTISEMENT
Pelaku perdagangan manusia semakin gencar menggunakan platform media daring dan sosial untuk merekrut korban. Warga Indonesia, termasuk anak-anak, yang rumahnya atau mata pencahariannya hancur akibat bencana alam tahun 2019 menjadi rentan terhadap praktik perdagangan orang.
Selain itu, pelaku perdagangan orang juga mengeksploitasi korban asal Indonesia di luar negeri. Sebagian besar tenaga kerja Indonesia di luar negeri tidak memiliki dokumen atau telah melebihi batas waktu tinggal yang tercantum pada visa mereka. Situasi ini menambah kerentanan mereka terhadap perdagangan manusia.
Masih menurut Laporan Tahunan Perdagangan Orang 2020 yang dikeluarkan Kedutaan Besar dan Konsulat AS di Indonesia, ada juga bentuk eksploitasi dengan dalih peluang pendidikan. Para siswa yang menjadi korban biasanya tidak mengetahui komponen pekerjaan mereka sebelum kedatangannya. Kemudian para siswa ini mengalami pengalihan kontrak, jam kerja di luar batas normal, dan kondisi kehidupan tidak layak yang bertentangan dengan perjanjian awal mereka.
ADVERTISEMENT
Sementara itu, Asisten Deputi Penanganan Kejahatan Transnasional dan Kejahatan Luar Biasa Kementerian Politik Hukum dan Keamanan, Bambang Pristiwanto dalam Webinar Penegakan Hukum TPPO 2021 mengatakan, data International Organisation for Migration (IOM) Indonesia menunjukkan jumlah kasus TPPO pada tahun 2020 atau masa pandemi COVID-19 meningkat menjadi 154 kasus. Sementara itu, berdasarkan catatan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), jumlah permohonan perlindungan saksi TPPO di LPSK mengalami peningkatan sebesar 15,3 persen pada 2020.
“Dengan kondisi kasus TPPO di Indonesia yang memprihatinkan tersebut, perlu meningkatkan penegakan hukum yang memberikan efek jera serta memperkuat peran seluruh pihak, baik pemerintah, lembaga, kepolisian, swasta, dan masyarakat untuk memperkuat komitmen bersama dan bersinergi melawan sindikat perdagangan orang dan mengakhiri perdagangan orang di Indonesia,” ujar Bambang.
ADVERTISEMENT
Hal ini disepakati oleh Direktur Tindak Pidana Terorisme dan Lintas Negara Kejaksaan Agung, Idianto. Menurutnya, perlu adanya kepastian hukum serta keadilan manfaat dalam penanganan kasus TPPO. “Jangan sampai sekadar menghukum, tapi hanya sebagian saja. Tidak membuat jera para pelakunya. Seharusnya kita tidak hanya menghukum orang-orang yang melakukan perekrutan di lapangan. Supaya jera dan terhenti kegiatan TPPO ini, ke depan korporasinya yang kita usut,” ujarnya.
Lebih lanjut, Idianto menuturkan, TPPO merupakan fenomena gunung es. Pasalnya, kasus yang terungkap di persidangan lebih sedikit daripada kasus yang terjadi di masyarakat.
Gambar oleh akiragiulia dari Pixabay
Berdasarkan data Penyusunan Program, Laporan, dan Penilaian-Pidana Umum Kejaksaan Republik Indonesia Tahun 2021, jumlah perkara TPPO mengalami penurunan setiap tahunnya. “Banyak korban yang tidak mengerti hukum, tidak mengetahui jalur pelaporan, serta merasa takut dan merasa terancam,” imbuhnya.
ADVERTISEMENT
Terlebih menurut Idianto, aparat penegak hukum pada umumnya lebih memilih untuk menggunakan UU Nomor 18 Tahun 2017 Tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (PPMI) dibandingkan UU 21 Tahun 2007. “UU Tentang PPMI ini lebih gampang membuktikannya, tetapi ancamannya juga lebih ringan dibandingkan dengan UU Pemberantasan TPPO,” ungkap Idianto dalam webinar yang sama.
Salah satu lembaga yang melakukan pendampingan terhadap korban TPPO adalah LPSK. Wakil Ketua LPSK, Livia Iskandar menyebutkan, terlindung yang ditangani oleh LPSK bisa mendapatkan perlindungan fisik, pemenuhan hak prosedural (pendampingan), perlindungan hukum, fasilitasi ganti rugi, dan lain sebagainya. “Korban, saksi, saksi pelaku, atau masyarakat dapat melapor melalui aplikasi Permohonan Perlindungan LPSK atau lewat Whatsapp, serta media sosial lainnya,” tutup Livia.
ADVERTISEMENT
Pemerintah Indonesia telah berkomitmen dan melakukan langkah penanganan TPPO, salah satunya adalah pengesahan Undang-Undang (UU) Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan TPPO yang salah satunya mengamanatkan pembentukan GTPP-TPPO. Hingga saat ini telah terbentuk sebanyak 32 Gugus Tugas Provinsi dan 245 Gugus Tugas Kabupaten/Kota. Berbagai upaya pencegahan terjadinya TPPO terus dilakukan baik melalui sosialisasi, edukasi, literasi dan penyadaran sosial agar masyarakat tidak menjadi korban.