Kisah Anak-anak Penghuni 'Gedung Setan' Surabaya

Konten Media Partner
1 Mei 2019 13:18 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Akses masuk ke 'Gedung Setan' (bercat putih) di Jalan Banyu Urip, Surabaya. Foto : Windy Goestiana/Basra
zoom-in-whitePerbesar
Akses masuk ke 'Gedung Setan' (bercat putih) di Jalan Banyu Urip, Surabaya. Foto : Windy Goestiana/Basra
ADVERTISEMENT
Bagaimana rasanya hidup di dalam 'gedung setan'? Terlintas pertanyaan itu akhirnya mengantarkan Basra untuk berkunjung ke sebuah gedung di Jalan Banyu Urip Wetan 1A No. 107 Surabaya. Warga kota pahlawan mengenal gedung ini sebagai 'Gedung Setan'. Seperti apa suasana di dalamnya?
ADVERTISEMENT
Gedung Setan sebenarnya merupakan gedung bekas Kantor Gubernur Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) di Jawa Timur yang berdiri sejak tahun 1809. Setelah VOC bangkrut dan meninggalkan Indonesia, gedung ini dimiliki oleh Dokter Teng Sioe Hie.
Dokter Teng Sioe Hie tidak menggunakan gedung tersebut untuk tempat tinggal. Sebab, seiring kepergian VOC, lahan kosong di kanan-kiri gedung dijadikan tempat pemakaman Tionghoa.
Sutikno Djijanto, Ketua Pengurus 'Gedung Setan' sejak 2012. Foto : Windy Goestiana/Basra
Menurut Sutikno Djijanto, Ketua Pengurus 'Gedung Setan' saat ini, asal-usul penyebutan 'Gedung Setan' bermula dari lokasi gedung yang berada di tengah area pemakaman Tionghoa.
"Dulu gedung ini berdiri di tanah seluas 7.342 meter persegi. Setelah VOC bangkrut, area sekitar gedung jadi tempat pemakaman Tionghoa. Gedung ini dipakai untuk tempat sembahyang keluarga Tionghoa yang anggota keluarganya dimakamkan di sekitar sini. Karena area pemakamannya luas, dan ini satu-satunya gedung yang ada jadi masyarakat mikirnya ini gedungnya setan-setan," kata Sutikno saat ditemui Basra, Rabu (1/5).
ADVERTISEMENT
Setelah Indonesia merdeka, tepatnya di tahun 1948, 'Gedung Setan' mulai dijadikan tempat pengungsian masyarakat Tionghoa dari pelosok Jawa Timur dan Jawa Tengah. "Saat itu warga Tionghoa belum aman keadaannya. Mereka tinggal di gedung ini sampai beberapa tahun. Perlindungan mereka juga dijamin," cerita Sutikno.
Pintu masuk 'Gedung Setan'. Kini dihuni 54 kepala keluarga. Foto : Windy Goestiana/Basra
Setelah kondisi cukup aman, barulah ada warga Tionghoa yang memutuskan kembali ke daerahnya dan ada juga yang tetap menetap di 'Gedung Setan'.
"Jadi yang tinggal di sini adalah generasi keempat pengungsi Tionghoa tahun 1948. Kalau tidak ada garis keturunan dari pengungsi 1948, tidak bisa tinggal di sini," kata Sutikno.
Hingga Mei 2019, ada 54 kepala keluarga ber-KTP Surabaya yang tinggal di 'Gedung Setan'. Menurut pengamatan Basra, ada juga penghuni dari Nusa Tenggara Timur, Ambon, Lampung, Bali, dan Sumatera.
ADVERTISEMENT
"Karena banyak anak-anak sini yang menikah dengan orang dari luar daerah. Jadi mereka tinggal bersama di gedung ini sekarang," kata Sutikno.
Luas kamar yang dihuni masing-masing kepala keluarga berukuran 3x6 meter. Foto : Windy Goestiana/Basra
Kondisi 'Gedung Setan' memang masih kokoh berdiri. Maklum, ketebalan temboknya saja hampir 50 sentimeter.
Akan tetapi, suasana di dalam 'Gedung Setan' tak seperti rumah indah yang nyaman pada umumnya. Gedung ini terdiri dari 40 ruang yang dijadikan kamar. Kamar Sutikno sendiri berukuran 3x6 meter. Dinding-dindingnya dipenuhi sarang laba-laba dan debu, serta atap kayunya mulai lapuk. Meski begitu, anak-anak penghuni 'Gedung Setan' merasa nyaman tinggal di dalamnya.
Anak-anak bermain di ruang serba guna yang biasa dijadikan tempat beribadah saat Natal dan Paskah. Foto : Windy Goestiana/Basra
"Sejak lahir tinggal di 'Gedung Setan'. Tapi enggak pernah lihat setannya ha..ha..ha," kata Putri Aurel Gisela Pribadi, penghuni cilik 'Gedung Setan', yang sudah 10 tahun tinggal di dalamnya.
ADVERTISEMENT
Aurel bukan satu-satunya warga cilik di 'Gedung Setan'. Selain ia dan adiknya, Calista Nathania yang berumur 6 tahun, ada juga kakak-beradik Aulia Silvani (9) dan Jenita Lovenia (6) yang ikut tinggal di sana.
Dari depan: Calista, Aurel, Aulia, dan Jenita, penghuni cilik gedung setan Surabaya. Foto: Windy Goestiana/Basra
Aulia dan Jenita baru sekitar 4 tahun terakhir pindah dari Lampung ke 'Gedung Setan'. Jenita mengatakan, dirinya pernah melihat makhluk halus, namun kemudian dibantah kakaknya. "Dia bercanda kok," katanya yang disambut tawa keempat anak tersebut.
Sehari-hari, Aurel dan Aulia bersekolah bersama di SDN Banyu Urip 9. Lokasi sekolahnya sekitar 50 meter dari tempat tinggal mereka.
Di waktu luang, mereka lebih suka bermain boneka ataupun membaca bersama. Saat ditanya apa mereka senang tinggal di 'Gedung Setan', Jenita yang paling lantang menjawab, "Enggak, enggak ada kolam renangnya," kata Jenita polos yang lagi-lagi disambut tawa keempatnya.
ADVERTISEMENT

Gedung Setan Masuk dalam Bangunan Cagar Budaya

Usia 'Gedung Setan' yang sudah mencapai 2 abad, membuatnya masuk dalam kategori bangunan cagar budaya. Meski begitu, kata Sutikno, Pemerintah Kota Surabaya tak bisa ikut merevitalisasi.
"Menurut Peraturan Daerah tentang bangunan cagar budaya hanya aset-aset negara yang bisa diperbaiki. Gedung ini kan dulunya milik pribadi. Jadi tidak bisa," kata Sutikno.
Pun demikian, baik Sutikno maupun warga lainnya, masih setia tinggal di gedung tua ini. Untuk kamar mandi, warga biasa menggunakan kamar mandi bersama. Iuran warga pun relatif murah hanya Rp 15 ribu per bulan untuk setiap kepala keluarga.
Iuran inilah yang digunakan Sutikno untuk membayar listrik jalan, PBB, dan memberikan uang santunan bila ada warga meninggal dunia. (Reporter: Windy Goestiana)
ADVERTISEMENT