Kisah Dokter di Surabaya Rela Belajar Bahasa Isyarat Demi Bantu Pasien Bisu Tuli

Konten Media Partner
21 Juni 2024 8:15 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
dr. Vena Saskia Prima Saffanah. Foto: Humas Unusa
zoom-in-whitePerbesar
dr. Vena Saskia Prima Saffanah. Foto: Humas Unusa
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Tidak banyak tenaga medis yang memikirkan bagaimana pasien bisu tuli berkomunikasi terkait penyakit yang dideritanya. Itu pulalah yang menyebabkan penyandang bisu tuli jarang ditemui di rumah sakit datang sendirian, kalau pun ada biasanya mereka membawa pengantar. Lalu bagaimana jika penyandang bisu tuli itu datang sendirian ke rumah sakit tanpa didampingi pengantar. Bisakah tenaga medis yang akan menanganinya berkomunikasi dengan pasien bisu tuli tersebut?
ADVERTISEMENT
Pertanyaan-pertanyaan itulah yang memotivasi Vena Saskia Prima Saffanah, dokter yang baru saja dilantik dan diambil sumpah di FK Unusa pada Kamis (20/6) kemarin.
“Saya bersama kakak dan rekan lainnnya belajar bahasa isyarat untuk kelak bisa memberikan pelayanan maksimal pada pasien. Dalam pengamatan saya memang jarang ada pasien bisu tuli berobat ke rumah sakit, kebanyakan dari mereka berupaya mengobati diri sendiri jika sedang sakit. Hambatan komunikasi salah satu penyebabnya (pasien bisu tuli jarang ke rumah sakit),” ungkap Vena.
Vena menceritakan ketika ia menjalani koas bersama sang kakak, Vera Saskia Prima Salsabila-yang dilantik dan diambil sumpahnya lebih dahulu pada Februari 2024 lalu—ia bertemu dengan pasien bisu tuli yang sedang memeriksakan kandungannya di rumah sakit. Saat itu Vena memperhatikan betapa sulitnya pasien tersebut berkomunikasi.
ADVERTISEMENT
Demikian juga ketika ia menjalani stase di UGD, ada korban kecelakaan yang tidak lancar berkomunikasi karena dia adalah pasien bisu tuli.
“Saya berpikir semestinya layanan kesehatan untuk semua orang, tapi karena ia penyandang bisu tuli, maka ia memperoleh layanan kesehatan tidak maksimal. Penyebabnya karena tidak semua dokter paham dan mengerti bentuk komunikasi bahasa isyarat. Itulah yang mendorong saya untuk bisa memiliki keterampilan paham dan mengerti bahasa isyarat,” terang alumni SMA Darul Ulum 2 Jombang ini.
Alhamdulillah, kata anak keempat dari pasangan ayah H. Ika Yulis Priyadi dan ibu Faidatul Himmah menambahkan, jika ia kini sudah lulus level satu untuk memahami bahasa isyarat. Sehingga mengerti tentang apa yang diderita pasien jika kebetulan penyandang bisu tuli menggunakan bahasa isyarat.
ADVERTISEMENT
“Saya berharap jika banyak dokter dan tenaga medis yang mengerti dan memahami bahasa isyarat tidak ada lagi diskriminasi yang diterima pasien penyandang bisu tuli,” kata perempuan yang berkeinginan pendidikan spesialis mata ini.
Bercerita tentang minatnya untuk belajar bahasa isyarat, dokter kelahiran Sidoarjo, 1 November 1998 ini mengungkapkan, di antara rekan-rekannya sesama mahasiswa kedokteran, kini juga banyak yang belajar bahasa isyarat, bukan karena tren dan ikut-ikutan, tapi mereka lebih memahami bahwa layanan kesehatan adalah hak bagi semua orang, tanpa kecuali.
“Saya belajar bahasa isyarat bersama kakak dan teman-teman ini juga awalnya diberikan wawasan tentang hak bagi seorang pasien,” kata Vena.
Bicara motivasinya dan saudara kembarnya yang sama-sama mengambil kedokteran, Vena menjelaskan bahwa dirinya ingin mengikuti jejak sang kakak pertama yang kini menyandang dokter spesialis bedah.
ADVERTISEMENT
“Kakak pertama dan keluarga yang menyemangati saya dan Vera (saudara) untuk mengambil studi di fakultas kedokteran. Sedang pilihan masuk ke Unusa atas saran nenek,” tukasnya.