Konten Media Partner

Kisah Mbah Marem, 31 Tahun Jualan Jamu Gendong Keliling Kampung Surabaya

2 Juli 2024 7:27 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Mbah Marem, penjual jamu gendong di Surabaya. Foto: Masruroh/Basra
zoom-in-whitePerbesar
Mbah Marem, penjual jamu gendong di Surabaya. Foto: Masruroh/Basra
ADVERTISEMENT
Bicara jamu di Indonesia, maka tak akan terlepas dari peran jamu gendong. Jamu gendong adalah jamu hasil produksi rumahan. Jamu gendong dipasarkan dengan cara memasukkannya ke dalam botol-botol. Kemudian, botol-botol disusun di dalam bakul. Penjual jamu biasa menggendong bakul tersebut saat berjualan. Inilah sebab jamu ini dikenal sebagai jamu gendong.
ADVERTISEMENT
Jamu gendong biasanya akan berkeliling dari satu kampung ke kampung lainnya saat menjajakan jamunya. Namun kini jamu gendong semakin berkurang, bahkan dapat dikatakan sangat susah ditemui atau langka di Surabaya. Mbah Marem, salah satu penjual jamu gendong yang tersisa di Kota Pahlawan.
Nenek berusia 64 tahun itu berjualan jamu gendong di kawasan Ambengan hingga Ngaglik. Setiap jam 6, Mbah Marem mulai berkeliling menjajakan jamu gendong.
"Dulu bisa sampai Kapas Krampung, tapi sekarang dekat-dekat rumah saja kelilingnya. Si Mbah sudah enggak kuat kalau jalan jauh," tutur Mbah Marem saat dijumpai Basra, (1/7).
Lansia yang tinggal di kawasan Ambengan ingin mengaku sudah berjualan jamu gendong sejak 1993 silam, mengikuti jejak sang kakak. Mbah Marem yang tinggal bersama sang suami merupakan perantau asal Wonogiri, Jawa Tengah.
ADVERTISEMENT
"Tinggal sama suami (di Surabaya). Anak ada di desa. Suami jualan bubur ayam yang dipikul, sama keliling kampung juga," ungkap Mbah Marem.
Menjual jamunya seharga Rp 3 ribu per gelas, Mbah Marem menuturkan jika jamu yang dijualnya merupakan buatan sendiri. Setiap hari sekitar jam 3 dini hari Mbah Marem mulai memasak jamunya dibantu sang suami. Keahlian meracik jamu diperoleh Mbah Marem dari sang kakak.
"Kakak kan jualan jamu juga, tapi sekarang sudah berhenti karena sudah nggak kuat jalan," imbuh Mbah Marem.
Sebelum azan zuhur berkumandang, sekitar pukul 10 atau 11, Mbah Marem akan pulang ke rumah meski jamunya belum sepenuhnya habis terjual. Ini dilakukan Mbah Marem karena cuaca panas yang cukup menyengat di Kota Surabaya.
ADVERTISEMENT
"Sering habis, tapi kalau nggak habis masih ada sisa sedikit ya nggak papa, tetap pulang. Panas nak, Mbah nggak kuat jalan," terangnya.
Beberapa racikan jamu tradisional yang dijual Mbah Marem antara lain kunyit asem, sinom, beras kencur, suruh, dan tentunya air panas dalam termos untuk menyeduh jamu instan.
Jamu instan yang dibawa Mbah Marem di antaranya ada buyung upik, pegel linu, dan masih banyak lagi.
Diakui Mbah Marem saat ini anak-anak tak terlalu menyukai jamu racikan. Mereka lebih memilih membeli jamu instan berupa jamu buyung upik.
"Kalau anak-anak jarang yang beli jamu racikan. Mereka sukanya jamu buyung upik. Jamu racikan biasanya yang beli ya ibu-ibunya," tukas Mbah Marem.
Bagi Mbah Marem, berjualan jamu gendong bukan hanya untuk mengais rezeki melainkan melestarikan budaya leluhur. Mbah Marem mengaku akan tetap berjualan jamu gendong selagi masih mampu berjalan keliling kampung.
ADVERTISEMENT
"Sekarang yang dekat-dekat saja kelilingnya dan nggak bisa sampai sore," tandasnya.