Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten Media Partner
Kisah Oei Hiem Hwie, Kolektor Koran dan Buku Langka yang Legendaris
7 Januari 2020 8:38 WIB
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:17 WIB
ADVERTISEMENT
Kalau tak ada Oei Hiem Hwie, novel Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer mungkin tak pernah bisa sampai ke tangan kita sampai hari ini. Hwie adalah pembawa naskah asli Bumi Manusia yang ditulis Pram di atas kertas kantong semen selama ditahan di Pulau Buru.
ADVERTISEMENT
Hwie jugalah yang mencarikan kertas-kertas semen bekas untuk Pram bisa menulis Bumi Manusia. "Waktu itu Pak Pram bilang, "Hwie saya ingin nulis. Semua ada di sini (menunjuk kening)" akhirnya saya mikir, pakai apa ya. Saya cari-cari ada orang bikin lumpang pakai semen, kertasnya saya minta. Lalu bolpoinnya dapat dari barter telur sama orang yang bantu-bantu dalam penjara," kenang Hwie.
Saat Hwie dibebaskan dari Pulau Buru pada tahun 1978, Pram menitipkan naskah Bumi Manusia padanya. "Naskah itu saya masukkan ke tas pakaian kotor. Untung saja tas itu enggak digeledah petugas. Karena semua tahanan enggak boleh bawa apa pun kecuali pakaian," kata Hwie saat ditemui Basra di Perpustakaan Medayu Agung Surabaya, Senin (6/1).
Saat Pram dibebaskan pada tahun 1979, Hwie menemui Pram untuk mengembalikan seluruh naskah awal dan bahan penulisan ensiklopedi tetralogi Bumi Manusia. "Pak Pram bilang dia hanya mau fotokopi naskah itu, yang asli saya diminta simpan," kata Hwie menirukan ucapan Pram saat itu.
ADVERTISEMENT
Bumi Manusia pun menuai sukses hingga kini dan berhasil diterbitkan dalam 33 bahasa.
Hwie bukan orang sembarangan. Pria kelahiran Malang tahun 1936 ini seorang jurnalis di harian Trompet Masjarakat sejak tahun 1962-1965. Harian Trompet Masjarakat saat itu berlokasi di dekat Tugu Pahlawan, Surabaya.
Karir jurnalistik Hwie berhenti saat terjadi peristiwa 30 September 1965. Trompet Masjarakat ditutup dan Hwie ditangkap.
Hampir semua koleksi foto-foto, koran, majalah, buku, dan berbagai dokumen penting milik Hwie dirampas. Beruntung masih ada beberapa arsip yang bisa diamankan adik Hwie di Malang.
Hwie ditahan karena dianggap sebagai orang-orang Sukarno dan terlibat PKI. Meski pada akhirnya tuduhan tersebut tidak terbukti, tapi Hwie tetap ditahan.
Saat bertugas untuk Trompet Masjarakat, Hwie memang kebagian tugas meliput kegiatan Presiden RI pertama itu.
"Karena sering melaporkan tentang Bung Karno ini saya dianggap dekat sama beliau. Jadi saya ditahan selama 5 tahun berpindah-pindah dari Batu, Lowokwaru Malang, Kalisosok Surabaya, lalu ke Penjara Koblen. Sekitar tahun 1970 saya dipindah ke Pulau Buru dan di sana selama 8 tahun. Saya masuk Buru bersama dengan Pak Pram," kata Hwie.
ADVERTISEMENT
Saat ditanya tentang bagaimana sosok Sukarno yang dia kenal. Hwie tampak tersenyum sambil mengingat sesuatu.
"Saat saya pertama kali wawancara Bung Karno, saya sendirian. Saya dipersilakan duduk, dan beliau ini mengamati penampilan saya. Lalu beliau tanya, "Kok enggak pakai ini (menunjuk ke arah jam tangan)?" Saya senyum aja saat itu. Saya bilang saya enggak mampu beli. Langsung saja beliau lepas jam tangannya dikasih ke saya. "Ini pakai saja"," kata Hwie menirukan ucapan Bung Karno.
Hingga hari ini, jam tangan berwarna emas bertuliskan 'Istana Presiden' itu masih tersimpan rapi di Perpustakaan Medayu Agung yang didirikan Hwie.
Sejak keluar dari Pulau Buru sampai hari ini, Hwie memang tak lagi menekuni karir jurnalistik. Bukan karena Hwie tak mau, tapi karena predikat ET atau Eks Tapol yang tertulis di KTP nya membuat dia tak bisa mendapat pekerjaan apapun.
ADVERTISEMENT
Karena kecintaan Hwie pada membaca dan mengarsip buku-buku, Hwie akhirnya bertemu Haji Masagung, Tionghoa Muslim yang dikenal sebagai pendiri Toko Buku Gunung Agung dan Perpustakaan Yayasan Idayu.
Hwie pun akhirnya mendapat pekerjaan sebagai sekretaris pribadi Haji Masagung. Selama bekerja bersama Haji Masagung itulah Hwie melanjutkan kesenangannya mengkliping koran dan mengoleksi berbagai buku dan majalah yang ada di Indonesia.
Berkat Haji Masagung jugalah Hwie didorong untuk bisa mendirikan perpustakaannya sendiri yang kini bernama Medayu Agung di Perumahan Kosagrha Jalan Medayu Selatan IV/42-44, Rungkut, Surabaya.
Koleksi Hwie terbilang sangat lengkap. Maklum, dulu saat Belanda pergi meninggalkan Indonesia banyak buku-buku mereka yang ditinggalkan begitu saja. Buku-buku tersebut diambil oleh Engkong Hwie dan akhirnya diserahkan padanya saat remaja.
ADVERTISEMENT
Di Perpustakaan Medayu Agung terdapat Koran terbitan berbahasa Indonesia dan Mandarin tahun 1959-1980. Di antaranya Suara Rakjat, Pewarta Soerabaia, Api Pantjasila, Ampera, Suluh Indonesia, Manifesto, Kengpo, Kedaulatan Rakyat, Djawa Pos, Surabaja Post, hingga Merdeka.
Berkat ketekunan Hwie mendokumentasikan perjalanan media, Hwie mendapat penghargaan dari Museum Rekor Dunia - Indonesia sebagai 'Kolektor Surat Kabar Terlengkap Sejak Awal Terbit'.
Hwie juga punya buku sejarah kota Surabaya yang ditulis G.H Von Faber dengan judul Er Werd Een Stad Geboren, Oud Soerabaia, dan Nieuw Soerabaia. Dalam buku-buku tersebut diceritakan Surabaya yang masih berupa hutan dan rawa sampai ke zaman kependudukan Belanda.
Ada juga koleksi buku langka yang hanya tinggal satu eksemplar di dunia seperti Mein Kampf karya Hitler, lalu buku 'Staatsblad Van Nederlandsch-Indie' yang berisi lembaran negara era Belanda tahun 1893 masih dimiliki Hwie.
ADVERTISEMENT
Ada juga buku 'Der Tempel Von Borobudur' yang diterbitkan pada 1919 juga tersimpan rapi di lemari kaca. Tak ketinggalan buku karya Multatuli atau Douwes Dekker seperti 'Max Havelaar' serta 'Saidjah dan Adinda' juga masih bisa dibaca di sini.
Tak hanya buku-buku kuno dari Jerman, Mandarin, dan Belanda, Hwie juga mengoleksi berbagai majalah seperti Tempo, Star Weekly, dan Liberty yang diterbitkan sejak awal. "Saya juga punya karya Pak Pram yang belum diterbitkan judulnya 'Di Atas Lumpur'. Hanya keluarga Pak Pram saja yang punya hak untuk menerbitkan naskah ini," kata Hwie sambil menunjukkan naskah tersebut yang telah diketik rapi.
Begitu lengkapnya koleksi Perpustakaan Medayu Agung, tahun 1999 ada kolektor buku-buku sejarah dari Australia yang datang dan menawarkan uang Rp 1 miliar untuk membeli seluruh koleksi Hwie.
ADVERTISEMENT
"Saya enggak kasih bukan saya enggak butuh uang. Nanti kalau sejarah Indonesia dibolak-balik gimana, wah bisa kacau," kata Hwie sambil tertawa.
Hingga kini, pengelolaan Perpustakaan Medayu Agung dilakukan swadaya oleh Hwie. Selain menggunakan dana pribadi juga ada donasi dari kerabat Hwie.
Hwie berencana untuk melakukan digitalisasi koleksi yang dia miliki. Cara ini menurutnya yang paling cocok untuk bisa tetap memberi akses pada generasi muda terhadap koleksinya. Tapi bagaimana pun dibutuhkan dana dan tahapan yang tak mudah lagi bagi Hwie di usia 83 tahun ini.
Perpustakaan Medayu Agung buka setiap Senin-Sabtu mulai jam 9 pagi sampai jam 2 siang. Hwie sendiri yang menjaga perpustakaan dan dibantu enam pegawainya. Hanya saja, setiap jam 11.00 WIB Hwie akan pulang untuk minum obat dan beristirahat.
ADVERTISEMENT