Kisah Sawunggaling, Adipati Surabaya yang Jujur dan Dibenci Saudaranya

Konten Media Partner
4 November 2019 7:27 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Area makam Sawunggaling di Desa Lidah Wetan, Surabaya. Foto-foto : Masruroh/Basra
zoom-in-whitePerbesar
Area makam Sawunggaling di Desa Lidah Wetan, Surabaya. Foto-foto : Masruroh/Basra
ADVERTISEMENT
Sawunggaling bukan sekadar nama kelurahan di Surabaya. Menurut cerita yang berkembang di masyarakat, Sawunggaling adalah seorang adipati (kini lebih dikenal dengan istilah wali kota) yang jujur, gagah, dan berani.
ADVERTISEMENT
Makam Sawunggaling sendiri terletak di Desa Lidah Wetan, Kecamatan Lakarsantri Surabaya. Sawunggaling menjadi saksi sejarah kebesaran kerajaan Surabaya di masanya. Makam Sawunggaling ditemukan oleh warga pada tahun 1901.
Menurut juru kunci makam Sawunggaling, Muhammad Baidowi, Sawunggaling merupakan putra dari Dewi Sangkrah dan Adipati Jayengrono. Sawunggaling menjadi sosok yang babat alas (membuka lahan) kota Surabaya bagian barat.
Saat Basra berkunjung, Minggu (3/11), komplek makam Sawunggaling terlihat bersih dan terawat. Terlihat lima deret makam yang berhias bunga segar sebagai tanda bahwa komplek makam ini kerap didatangi peziarah.
Pada masing-masing makam bertuliskan nama yang terbuat dari kayu jati. Sedangkan pada nisan kelima makam tersebut dibungkus kain warna putih yang bersih.
Baidowi, sang juru kunci, makam Raden Sawunggaling.
"Terdapat lima makam disini, yakni makam Raden Ayu Pandan Sari yang merupakan teman Sawunggaling saat babat alas Surabaya, lalu makam Sawunggaling, makam Dewi Sangkrah yang merupakan Ibu Sawunggaling, makam Mbah Buyut Suruh. Beliau adalah pengasuh Dewi Sangkrah, dan makam Raden Karyosentono yang merupakan kusir Sawunggaling. Raden Karyosentono ini masih memiliki garis keturunan dengan Sunan Giri," jelas Baidowi kepada Basra.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan SK Walikota No.188. 45/ 270/436. 1.2/2013, makam Sawunggaling ini telah ditetapkan sebagai cagar budaya Kota Surabaya. Peresmian sebagai cagar budaya dilakukan Wakil Walikota Surabaya Whisnu Sakti Buana pada 15 Juli 2013.
Baidowi mengatakan, pada hari Kamis malam Jumat, makam Sawunggaling kerap dikunjungi peziarah dari luar kota Surabaya. Dan pada hari-hari tertentu tokoh masyarakat Surabaya juga menyempatkan berkunjung ke makam ini.
Di makam Sawunggaling ini setiap satu tahun sekali juga digelar doa bersama dan gelar budaya tepatnya setiap bulan suro (dalam kalender Jawa).
"Setiap satu bulan sekali saat Jumat Legi juga diadakan istighosah bersama dengan tujuan untuk nguri-uri (melestarikan) budaya," kata pria yang telah menjadi juru kunci makam Sawunggaling sejak 2007.
ADVERTISEMENT
Menurut cerita Baidowi, saat Sawunggaling akan lahir, ayahnya yang bernama Jayengrono tak bisa menemani Dewi Sangkrah karena menjalankan tugas sebagia adipati di Surabaya. Jayengrono pun meminta Dewi Sangkrah untuk tetap tinggal di kampung Lidah Wetan, yang dulunya bernama kampung Lidah Donowati.
Jayengrono berpesan kepada Dewi Sangkrah, jika nanti anaknya yang lahir adalah laki-laki ia meminta anak tersebut dinamai Jaka Berek, dan jika anaknya perempuan namanya terserah Dewi Sangkrah.
"Jadi Jaka Berek itu nama kecil Sawunggaling," imbuh Baidowi.
Ketika beranjak dewasa, Jaka Berek bertanya kepada ibunya mengenai ayahnya. Kemudian Dewi Sangkrah memberitahu Jaka Berek bahwa ayahnya adalah seorang adipati di Surabaya, dan memberikan sebuah Cinde Puspita kepada Jaka Berek sebagai tanda bahwa ia adalah anak dari Adipati Jayengrono. Cinde itu merupakan pemberian Jayengrono kepada Dewi Sangkrah.
Dengan membawa ayam kesayangannya dan cinde puspita, Jaka Berek menemui ayahnya. Kemudian Jaka Berek bertemu dengan kakak tirinya yang bernama Sawungrana dan Sawungsari. Mereka tidak percaya kalau Jaka Berek anaknya Jayengrono, sang adipati. Akhirnya mereka melakukan adu ayam dan Jaka Berek menang.
ADVERTISEMENT
"Setelah itu Adipati Jayengrono menemui Jaka Berek yang membawa cinde puspita sebagai bukti yang menguatkan bahwa ia adalah anaknya. Kemudian saat Adipati Jayengrono sudah tua, ia bingung memberikan tahtanya kepada siapa, akhirnya kakak dari Adipati Jayengrono, yakni Adipati Cakraningrat memberikan usul untuk membuat sayembara memanah umbul-umbul untuk umum, siapa yang menang akan menggantikan tahta Adipati Jayengrono," kisah Baidowi.
Setelah sayembara diumumkan, Sawungrana dan Sawungsari mengikuti sayembara. Namun tidak ada yang bisa menjatuhkan umbul-umbul itu. Secara diam-diam, ternyata Jaka berek dengan menggunakan topeng sambil menaiki kuda berhasil menjatuhkan umbul-umbul tersebut.
Setelah dibuka topengnya dan mengetahui itu adalah Jaka Berek, akhirnya Jaka Berek lah yang meneruskan tahta ayahnya dengan gelar Raden Mas Ngabehi Sawunggaling Kulmosostronagoro.
ADVERTISEMENT
Saat pesta perayaan untuk pengangkatan Jaka Berek, Belanda bersekongkol dengan Sawungrana dan Sawungsari untuk mencelakai Jaka Berek yang telah berganti nama menjadi Sawunggaling dengan memberikan minuman yang telah diracuni. Namun hal tersebut diketahui oleh Adipati Cakraningrat, sehingga ia menumpahkan minuman itu.
Saat itu sempat terjadi kesalahpahaman, dimana Sawunggaling mengira Adipati Cakraningrat ingin mempermalukannya dihadapan para tamu. Namun setelah Adipati Cakraningrat menjelaskan apa yang terjadi, Sawunggaling meminta maaf dan menjadi benci dengan Belanda. Sejak saat itu Sawunggaling berusaha mengusir keberadaan Belanda.
Ketika Sawunggaling mulai menjalankan tugasnya untuk meluaskan daerah kekuasaan, ia sempat dihadang oleh Raden Ayu Pandan Sari, sosok penguasa hutan. Dengan keberaniannya, Sawunggaling pun berusaha mengalahkannya.
"Begitulah kisah Sawunggaling yang saya dapatkan secara turun temurun. Namun hingga saat ini, tanggal lahir dan kematian Sawunggaling belum diketahui. Belum ada catatan tentang hal itu," pungkas Baidowi.
ADVERTISEMENT