Kisah Vera, Penyelamat Anak-anak Pengidap AIDS di Surabaya

Konten Media Partner
3 Desember 2019 7:21 WIB
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ri dan Na, anak-anak pengidap AIDS stadium tiga yang tinggal di Yayasan Abdi Asih Surabaya. Foto : Windy Goestiana
zoom-in-whitePerbesar
Ri dan Na, anak-anak pengidap AIDS stadium tiga yang tinggal di Yayasan Abdi Asih Surabaya. Foto : Windy Goestiana
ADVERTISEMENT
Nasib anak-anak yang tertular HIV/AIDS dari orang tuanya seringkali terlupakan. Tak jarang anak-anak tersebut dibuang keluarga karena rasa malu. Beruntung ada manusia seperti Liliek Sulistyowati, pendiri Yayasan Abdi Asih Surabaya. Perempuan berusia 60 tahun ini berjuang habis-habisan menyelamatkan hidup anak-anak yang mengidap HIV/AIDS.
ADVERTISEMENT
Ada empat anak yang tinggal di Yayasan Abdi Asih Surabaya. Tiga dari empat anak tersebut dinyatakan positif AIDS stadium dua dan tiga. Empat anak yang aktif dan ceria itu kami samarkan namanya jadi Jo, Ri, Na, dan Va.
Jo adalah anak laki satu-satunya yang tinggal di Abdi Asih. Jo berusia lima tahun saat ini. Saat RSUD Dr Soetomo Surabaya mengantarkan Jo ke Yayasan Abdi Asih pada 2014, dia diprediksi hanya bisa hidup dua bulan.
Tapi manusia memang hanya bisa memperkirakan. Buktinya, Tuhan masih mengizinkan Jo hidup hingga hari ini. Bahkan stadium AIDS yang diidap Jo turun, dari stadium empat jadi stadium dua.
Kemajuan yang ditunjukkan Jo tak lepas dari kasih sayang Liliek Sulistyowati atau yang akrab disapa Vera. Veralah yang mencarikan Jo donor ASI agar daya tahan tubuhnya membaik. Vera juga yang disiplin memberikan Jo obat ARV (antiretroviral) dua kali sehari, pagi dan sore.
ADVERTISEMENT
"Kami jaga pola makan mereka. Karena AIDS menyerang daya tahan tubuh, jadi mereka enggak bisa makan-makanan yang memicu alergi. Bisa langsung gatal-gatal, infeksi kulit," kata Vera saat ditemui Basra, (2/12).
Ri adalah penghuni Abdi Asih yang dibuang kakek dan neneknya. Ibu Ri meninggal dunia karena AIDS pada September 2017.
Beda kisah dengan Jo, Ri berusia tiga tahun saat ini. Menurut cerita Vera, Ri bersama ibunya dibuang oleh kakek dan neneknya di bantaran sungai. Ibu Ri tertular HIV dari ayahnya. Karena malu memiliki anak dan cucu yang mengidap AIDS, kakek dan nenek Ri membuangnya. Ibu Ri meninggal dunia dalam perawatan Vera pada September 2017.
"Waktu ada warga menemukan mereka lalu antar dia (Ri) dan ibunya kesini. Pas dibawa ke sini, badannya luka-luka bernanah semua," kata Vera.
Sedangkan Na berasal dari Trenggalek. Na tinggal di Abdi Asih sejak Januari 2019. Na berusia tujuh tahun saat ini. Pada waktu bocah malang ini diantar Dinas Sosial dan Perlindungan Anak dari kota asalnya ke Abdi Asih, kondisinya memprihatinkan.
ADVERTISEMENT
Mata kiri Na terluka karena disulut rokok oleh salah satu keluarganya. Kulit kaki, tangan, dan kepalanya juga penuh luka bernanah sehingga membuat rambutnya harus digundul.
Balita lain yang tinggal di Abdi Asih selain Ri adalah Va. Sampai hari ini Va adalah satu-satunya penghuni yang dinyatakan HIV negatif meski kedua orang tuanya sudah meninggal karena AIDS. Menurut Vera, Va dulu dilahirkan dengan cara sectio caesarian.
Sejak lahir sampai berusia empat tahun, Va terus mengonsumsi obat ARV. Hasilnya cukup melegakan, dalam beberapa kali tes HIV hasilnya negatif. "Tapi kami belum bisa senang dulu, karena kata dokter harus dilihat di tahun kelima. Karena biasanya virus HIV baru aktif di tahun kelima. Semoga saja tidak," kata Vera yang mulai meneliti persebaran AIDS di Surabaya tahun 1982 ini.
ADVERTISEMENT
Dilihat dari penampilan fisiknya, hanya Va yang benar-benar terlihat sehat. Kulitnya mulus bersih dan tidak punya luka. Sedangkan Jo, Ri, dan Na kulitnya mudah sekali terluka dan membusuk. Jo bahkan mengalami kelainan di matanya.
Bu Vera bersama hasil karya Wati, salah satu ODHA (Orang Dengan HIV AIDS) yang pernah diberi bekal ketrampilan menjahit. Semasa hidup, Wati membuat barang-barang kerajinan seperti seprei untuk hidup mandiri.
Vera mulai merawat anak-anak ODHA sejak tahun 1995. Total sudah ada 113 anak dengan HIV/AIDS yang dirawat Vera. Dari jumlah tersebut, yang bertahan hidup sampai saat ini sekitar 48 anak saja. "Kalau yang orang tuanya masih ada, saya sewakan tempat kos dan tiap hari kami kirim makanan. Tapi yang orang tuanya sudah meninggal, kami yang merawat," kata ibu tujuh anak ini.
Sekitar 67 persen perempuan dan anak ODHA yang dirawat Abdi Asih bukan anak PSK (pekerja seks komersial). Tapi ibu rumah tangga yang tertular HIV/AIDS dari suaminya.
ADVERTISEMENT
Fakta yang disampaikan Vera berbanding lurus dengan data milik Kemenkes RI tentang Laporan perkembangan kasus kumulatif HIV/AIDS pada April-Juni 2019.
Dari data tersebut diketahui, ibu rumah tangga pengidap AIDS berjumlah 16.854 orang di seluruh Indonesia. Hampir semua IRT tertular AIDS dari suami yang melakukan hubungan seksual berisiko.
Kasus AIDS karena hubungan seksual dengan non-pasangan berjumlah 70,2 persen, sedangkan karena penggunaan alat suntik tidak steril 8,2 persen, homoseksual 7 persen, dan penularan melalui persalinan sebanyak 2,9 persen.
Sehari-hari Jo, Ri, Na, dan Va, tinggal bersama Vera dan tiga tenaga pengasuh. Mereka tinggal di rumah sekaligus kantor Yayasan Abdi Asih di Jalan Dukuh Kupang Timur XI Surabaya.
Liliek Sulistyowati, pendiri Yayasan Abdi Asih Surabaya.
Anak-anak yang dirawat Vera semuanya dibekali pelajaran mengaji. Bahkan Na sudah bisa menyelesaikan Iqro dan hafalan surat-surat pendek.
ADVERTISEMENT
"Buat yang sudah sekolah, saya sekolahkan juga. Saya titipkan ke kepala sekolah yang saya kenal untuk jaga mereka. Karena pernah ada anak sini yang dijegal temannya, lalu koma, dan meninggal. Kasihan kalau mereka diganggu," kata Vera yang dipanggil anak-anak Abdi Asih dengan sebutan 'mami' ini.
Anak-anak penghuni Abdi Asih sampai hari ini juga sering mendapat perlakuan yang diskriminatif dari lingkungan tempat tinggal mereka.
"Pernah anak-anak main di halaman depan lalu diusir sama tetangga disuruh masuk. Saya juga pernah pas datang ke rumah orang lalu diludahin, dan pas kirim kue lebaran dikembalikan lagi. Tapi enggak apa, saya enggak marah," kenang Vera.
Bila ada orang tua dari anak-anak ODHA yang meninggal, Veralah yang akan membersihkan dan memandikan jenazah ODHA laki-laki maupun perempuan. "Karena tidak ada orang yang mau, lalu siapa lagi?" kata Vera.
Hasil gambar Na.
Untuk membiayai kehidupan 48 anak yang dirawat Vera, perempuan kelahiran Ujung Pandang 20 Mei 1959 ini rela bangun sejak dini hari untuk menyiapkan jualan nasinya. Setiap pagi Vera berjualan nasi di depan kantor Yayasan Abdi Asih.
ADVERTISEMENT
"Meskipun obat-obatan mereka tidak bayar, tapi kalau ke rumah sakit, saya harus tetap punya uang untuk biaya transportasi, transfusi darah, bayar tenaga pengasuh, bayar listrik, air, uang kos, dan kebutuhan lainnya," kata Vera.
Sesekali Vera dibantu anak-anak kandungnya untuk membayar tagihan listrik atau air. Anak-anak kandung Vera memang terbilang sukses. Mereka bahkan sudah membekali Vera sebuah apartemen dan mobil untuk masa tuanya.
Tapi lagi-lagi, kecintaan Vera pada anak-anak ODHA membuatnya memilih untuk menyewakan apartemen dan menjual mobilnya. "Uangnya saya pakai untuk kebutuhan yayasan," kata Vera.
Vera memang tak pernah aktif mencari donatur. Kata Vera, pantang baginya meminta belas kasihan orang. Vera lebih rela memilih untuk bangun lebih pagi dan mulai memasak bahan jualan dibanding meminta-minta sumbangan.
ADVERTISEMENT
Kini di masa tuanya, Vera hanya ingin memberi kenyamanan hidup untuk anak-anak ODHA yang dia rawat. "Ini yang bisa saya lakukan. Ini kenikmatan hidup saya, saya akan rawat sampai saya dipanggil Tuhan," tutup Vera.