Konten Media Partner

Kisah Warga Tambak Bayan, Surabaya: Tinggal di Bekas Kandang Kuda

27 Januari 2020 14:25 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Salah satu bangunan di kampung Tambak Bayan Surabaya. Foto-foto : Masruroh/Basra
zoom-in-whitePerbesar
Salah satu bangunan di kampung Tambak Bayan Surabaya. Foto-foto : Masruroh/Basra
ADVERTISEMENT
Kampung Tambak Bayan merupakan kampung pecinan yang cukup dikenal di Surabaya. Disebut kampung pecinan karena kampung yang terletak di Kelurahan Alun-Alun Contong, Kecamatan Bubutan, Surabaya, Jawa Timur, itu rata-rata dihuni oleh warga keturunan etnis Tionghoa.
ADVERTISEMENT
Di kawasan tersebut tepatnya di Tambak Bayan Tengah terdapat satu bangunan besar yang digunakan sebagai kandang kuda pada zaman kolonial Belanda. Hingga kini bangunan seluas 3.800 meter persegi tersebut masih berdiri kokoh. Padahal bangunan tersebut didirikan sejak tahun 1866.
"Sudah ada sejak tahun 1866, tapi baru dihuni warga keturunan (Tionghoa) pada tahun 1930. Sampai sekarang belum pernah direnovasi karena tidak ada dananya," ujar Ketua Rukun Tetangga (RT) 02 RW 02, Kelurahan Alun-Alun Contong, Suseno Karja, kepada Basra, Senin (27/1).
Suseno menuturkan, bangunan bekas kandang tersebut kini dihuni oleh sekitar 50 kepala keluarga. Mereka menetap secara turun temurun. Suseno sendiri merupakan generasi ketiga yang mendiami bangunan tersebut.
Bangunan seluas 3.800 meter persegi yang dibangun pada tahun 1866 ini dulunya dipakai sebagai kandang kuda.
Saat Basra mengelilingi bangunan tersebut, terdapat gedung utama di bagian tengah yang agak menjorok ke depan. Gedung ini disebut sebagai tempat tinggal pemilik kandang kuda kala itu. Ada sebuah pintu berukuran 1x2 meter layaknya pintu rumah dengan warna dominan hijau.
ADVERTISEMENT
Gedung utama ini tampak kurang terawat. Sudut-sudut ruangan di dalamnya juga kurang cahaya. Dinding batu bata tebal khas bangunan lama terlihat sudah mengelupas di sana-sini.
Di dalam gedung utama ini ada empat ruangan besar tersekat tembok. Dua ruangan di sebelah kanan dan dua ruangan sebelah kiri. Melongok ke dalam ruangan, tampak barang-barang milik warga yang disimpan.
"Ruangan-ruangan ini dulunya adalah kamar-kamar pemilik rumah. Dan gedung utama ini sekarang difungsikan sebagai balai pertemuan warga disini," jelas pria bernama asli Asen ini.
Di dinding-dinding ruangan gedung utama terdapat beberapa poster dan bingkai-bingkai foto yang menghiasi. Ada foto-foto tokoh perjuangan, mulai dari Soekarno, Hatta, hingga foto Gus Dur.
Selain itu, ada juga beberapa peralatan pertukangan seperti gergaji dan palu ikut menempel di dinding. Di langit-langit ruangan yang terbuat dari kayu juga tampak lampion. Lampion itu tergantung tidak merata karena sebagian langit-langit gedung yang sudah tidak utuh lagi.
ADVERTISEMENT
Sementara itu, di sekeliling gedung utama, tepatnya di sisi kanan dan kiri, terlihat bangunan yang disekat dengan papan-papan kayu. Beberapa ruangan kecil berukuran rata-rata antara 4x5 meter persegi, digunakan sebagai tempat tinggal warga.
"Ada 50-an kepala keluarga yang tinggal di sini. Semuanya keturunan Tionghoa," imbuhnya.
Asen mengatakan, warga keturunan di Tambak Bayan mayoritas adalah ekonomi menengah ke bawah. Ini tidak lepas dari sejarah nenek moyang mereka.
Sejak pertama kali di Tambak Bayan, nenek moyang mereka banyak yang berprofesi sebagai tukang kayu. Hal ini ditandai dengan masih banyaknya peralatan bekas pertukangan yang ditinggalkan oleh nenek moyangnya.
"Kalau ingin memperbaiki nasib, ya harus keluar dari Tambak Bayan," pungkas pria berkacamata ini.
ADVERTISEMENT