Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.88.1
Konten Media Partner
Mahasiswa ITS Olah Tempurung Siwalan Jadi Filter Masker Kain
30 April 2021 10:45 WIB
ADVERTISEMENT
Peningkatan limbah masker di masa pandemi tidak hanya berdampak bagi lingkungan, namun juga berpotensi menularkan virus ke masyarakat sekitar.
ADVERTISEMENT
Berlatar belakang hal itu, mahasiswa ITS Eunike Rhiza Febriana Setyadi melalui esainya menggagas masker kain yang lapisan tengahnya diberi filter khusus berbahan dasar limbah tempurung siwalan.
Melalui esai bertajuk Potensi Active Carbon Sheet Mask Ramah Lingkungan dari Limbah Tempurung Siwalan guna Mengurangi Penyebaran COVID-19 di Indonesia, mahasiswa yang akrab disapa Ike ini menggagas ide masker kain yang lapisan tengahnya diberi filter khusus berupa lembaran karbon aktif.
“Lapisan karbon aktif dapat memaksimalkan efektivitas penyaringan kotoran terutama virus,” kata Ike, Jumat (30/4).
Mahasiswa Teknik Kimia ini menjelaskan, bahwa karbon aktif bisa diperoleh dari kandungan selulosa yang sangat tinggi pada tempurung siwalan yaitu sebesar 89,2 persen. Selain itu, buah ini juga mudah ditemukan, khususnya di Kabupaten Tuban yang memproduksi sebanyak 5.477 ton per tahun.
ADVERTISEMENT
Sebelum memproses limbah tempurung siwalan menjadi karbon aktif, pertama tempurung harus dicuci untuk menghilangkan kotoran yang menempel lalu dikeringkan di oven bersuhu 150 °C selama dua jam untuk menghilangkan kandungan air (proses dehidrasi).
Selanjuynya, tempurung siwalan melewati tahap karbonisasi. Di mana sebanyak 1 kilogram sabut siwalan ditempatkan dalam wadah tertutup dan dipanaskan dalam tanur pada suhu 300 °C selama sejam.
“Tempurung siwalan ini akan berubah menjadi bentuk arang yang kemudian didinginkan, digiling dan diayak hingga arang berukuran 90 mesh,” jelasnya.
Setelah melewati tahap karbonisasi, arang yang diperoleh akan masuk ke tahap aktivasi. Proses ini bertujuan untuk meningkatkan pori-pori permukaan arang, sehingga dapat meningkatkan daya adsorpsi terhadap cairan dan gas.
Pada tahap ini, karbon direndam dengan natrium karbonat (Na2CO3) 25 persen. “Penggunaan Na2CO3 karena sifatnya yang nontoxic sehingga ramah lingkungan dan harganya terjangkau dibandingkan aktivator lain,” tambahnya.
ADVERTISEMENT
Dalam proses aktivasi itu dilakukan selama 24 jam dengan perbandingan massa arang dan volume aktivator adalah 1:10. Selanjutnya dilakukan penyaringan menggunakan kertas saring, pencucian arang aktif dengan aquades, lalu dikeringkan menggunakan oven dengan suhu 150 °C selama empat jam.
Terakhir, tempurung siwalan yang sudah menjadi karbon aktif ini dibentuk menjadi lembaran tipis, dan karbon aktif perlu ditambahkan bubuk kitosan yang sudah dilarutkan dalam asam asetat 2 persen, dengan perbandingan 50:50.
“Senyawa kitosan ini antimikroba, tidak beracun, dan memiliki kapasitas adsorpsi yang tinggi,” ucapnya.
Hasil pencampuran karbon aktif dengan kitosan ini akan menghasilkan active carbon sheet dengan ukuran pori-pori sebesar 3,702 nanometer. Ukuran pori ini efektif menyaring berbagai macam debu, udara beracun, bakteri, virus yang berukuran sekitar 125 nanometer, bahkan coronavirus yang ada saat ini.
ADVERTISEMENT
“Filter karbon aktif ini dapat digunakan sebagai filter masker kain dalam waktu 4-7 hari pemakaian,” kata Ike.
Berkat ide tersebut, Ike berhasil meraih juara 2 dalam perlombaan esai nasional Forum Komunikasi Mahasiswa Politeknik Indonesia (FKMPI) Lampung, beberapa waktu lalu.
"Harapannya, gagasan ini dapat diteliti lebih lanjut, terutama dalam menguji langsung keefektifan masker ini. Agar nantinya dapat ditindak lanjuti dan diimplementasikan di masyarakat umum,” pungkasnya.