Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 ยฉ PT Dynamo Media Network
Version 1.98.1
Konten Media Partner
Menelisik Kampung Reog di Surabaya, Laris Manis Saat Agustusan
1 Agustus 2019 11:15 WIB

ADVERTISEMENT
Tak perlu jauh-jauh ke Ponorogo untuk bisa melihat kesenian Reog. Di Surabaya bahkan ada kampung yang berjuluk Kampung Reog di Jalan Kertajaya Gang 5. Pada tahun 1953, Kampung Reog ini dihuni oleh 35 kepala keluarga asal Ponorogo yang mayoritas berprofesi sebagai seniman Reog dari Paguyuban Reog Mangun Jaya.
ADVERTISEMENT
Kini hanya tinggal 15 kepala keluarga saja yang tersisa. "Banyak yang transmigrasi ke luar pulau. Ada yang ke Sumatera dan Kalimantan, mencari pekerjaan lain, jadi sekarang jumlahnya menyusut," kata Dwi Setiawan atau Wawan (43 tahun), generasi keempat dari Paguyuban Reog Singo Mangku Joyo Kertajaya Surabaya.
Kesenian Reog memang dikenal dari Ponorogo, Jawa Timur. Kesenian ini sebenarnya punya pesan pemberontakan pada pemerintahan yang korup. Menurut catatan di Wikipedia, dulu di abad ke-15 pada masa Kerajaan Majapahit, Ki Ageng Kutu, yang dikenal sebagai abdi kerajaan merasa murka karena Raja Bhre Kertabhumi, Raja Majapahit terakhir saat itu, terlalu tunduk pada pengaruh sang istri yang berasal dari Tiongkok. Salah satu pengaruh yang dibawa sang istri raja ini menjadikan pemerintahan Raja Bhre Kertabhumi korup.
Seni-seni akrobatik yang ditampilkan dalam Reog memang selalu menarik perhatian. Karena itu pertunjukan Reog sering kali tampil di acara-acara penting Kota Surabaya. Seperti saat ada tamu delegasi negara asing atau saat momen peringatan hari ulang tahun (HUT) Republik Indonesia.
ADVERTISEMENT
"Bulan Agustus kita ramai panggilan untuk tampil. Mulai dari tampil di hotel sampai di lapangan. Kami juga rutin main di Balai Pemuda. Kami selalu diundang tampil di rumah dinas Bu Risma kalau ada tamu dari luar negeri. Semoga nanti penggantinya Bu Risma masih tetap peduli pada kami, para seniman Reog," kata Wawan, saat dikunjungi Basra (31/7).
Jika di bulan lainnya mereka hanya tampil 6 kali dalam sebulan, maka di bulan Agustus mereka bisa tampil di empat acara berbeda dalam sehari. Dalam setiap penampilan, Reog mengusung 25 sampai 40 pemain dari berbagai latar belakang usia. Mereka memainkan atraksi Jatilan, Ganongan, Warok, hingga Akrobat.
Tak hanya pementasan Reog yang laku, penjualan topeng Reog juga meningkat di bulan Agustus. "Setelah kami tampil, biasanya banyak anak-anak yang membeli topeng Reog. Ya buat mainan mereka sendiri," kata pria yang telah menekuni kesenian Reog sejak masih duduk di bangku sekolah dasar ini.
ADVERTISEMENT
Wawan sendiri telah membuat topeng Reog sejak 2006. Berawal dari permintaan sang anak, Wawan akhirnya keterusan membuat topeng Reog.
"Selain main Reog, dulu saya juga narik becak. Tapi akhirnya istri minta saya bikin topeng untuk dijual, dan lumayan laris. Ya sudah saya akhirnya jualan topeng dan berhenti narik becak," jelas bapak 3 anak itu.
Wawan menjual topeng Reog mulai dari harga Rp 35 ribu hingga Rp 250 ribu untuk topeng berbahan kayu randu. Sedangkan topeng berbahan kertas, Wawan mematok harga Rp 20 ribu hingga Rp 25 ribu. Permintaan topeng Reog tak hanya datang dari Surabaya, tapi juga luar kota seperti Lamongan hingga Pulau Bawean Gresik.