Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.100.5
22 Ramadhan 1446 HSabtu, 22 Maret 2025
Jakarta
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten Media Partner
Menengok Rumah Kelahiran Roeslan Abdulgani, Diplomat Kepercayaan PBB
12 Agustus 2019 19:04 WIB
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:18 WIB

ADVERTISEMENT
Predikat Kota Pahlawan yang disandang Surabaya diberikan bukan tanpa alasan. Setidaknya ada dua sosok penting yang lahir dan besar di Surabaya: Presiden Republik Indonesia yang pertama, Ir. Soekarno; dan tokoh perlawanan Surabaya yang terkenal dengan keberaniannya mengusir tentara Inggris, Bung Tomo.
ADVERTISEMENT
Selain dua tokoh istimewa itu, ada juga nama Roeslan Abdulgani, sosok yang ikut merebut kekuasaan dari tangan Jepang saat Proklamasi Kemerdekaan. Tokoh yang akrab disapa Cak Roes itu dulu aktif sebagai ketua organisasi Indonesia Muda yang membuatnya sering ditangkap aparat Belanda.
Setelah Indonesia merdeka, Cak Roes sempat menjabat sebagai Menteri Luar Negeri pada tahun 1956-1957, lalu menjabat sebagai Menteri Penerangan Indonesia pada 1963-1964, dan menjadi Duta Besar RI untuk PBB pada 1967-1971.
Setelah pensiun pada 1972, Cak Roes tidak menghentikan aktivitasnya. Sederet pekerjaan demi kepentingan bangsa dan negara masih ia lakukan. Di antaranya menjadi wakil Indonesia dalam Seminar Asia Afrika di Kairo, Mesir, pada 1985; lalu diundang menjadi pembicara kuliah umum di Universitas Monash, Australia; serta melakukan riset arsip dan dokumentasi di Belanda atas undangan Pangeran Bernhard.
ADVERTISEMENT
Bahkan organisasi PBB untuk urusan budaya (UNESCO), yang bermarkas di Paris, juga pernah menjadikan Cak Roes sebagai konsultan di bidang komunikasi massa dan kebudayaan.
Cak Roes lahir di Surabaya pada 24 November 1914. Sampai saat ini, rumah kelahiran Roeslan Abdulgani yang berlokasi di Plampitan VIII No. 26-28, Kelurahan Peneleh, Kecamatan Genteng, Surabaya, masih tegak berdiri.
Rumah yang terletak persis di depan Masjid Plampitan itu memiliki sentuhan arsitektur Belanda, dengan pintu kayu jati kuno dan didominasi warna coklat tua. Plat logam berwarna kuning keemasan penanda sebagai Rumah Cagar Budaya menempel di dinding depan rumah ini.
Rumah bersejarah itu kini ditempati Rahma Rondang Aristin, keponakan Roeslan Abdulgani, bersama keluarganya.
"Ini merupakan rumah kakek dan nenek, ayah dan ibu dari Pak Roeslan. Ibu saya, Siti Zaenab Soeinggar, adalah adik Pak Roeslan," kata Rahma, saat dikunjungi Basra, Senin (12/8).
ADVERTISEMENT
Rahma bercerita, rumah tersebut sempat mengalami renovasi pada tahun 1958 dan menjadi cagar budaya sejak 2015. Sejak saat itu, rumah tersebut tidak bisa sembarangan merenovasi.
"Renovasi tahun 1958 itu hanya dua rumah yang dijadikan satu, itu saja. Dua-duanya rumah kakek dan nenek," imbuh wanita kelahiran 1968 ini.
Saat memasuki rumah tersebut akan dijumpai berbagai peninggalan orang tua Cak Roes, Doelgani dan Siti Moerad. Mulai dari payung, tongkat, hingga kursi kayu yang dulunya dijadikan kursi pelaminan orang tua Cak Roes.
Ada pula foto-foto keluarga dan kegiatan Cak Roes yang terpajang rapi. Tak ketinggalan, buku-buku yang merupakan koleksi Cak Roes juga tertata rapi di rak kaca.
Rahma menjelaskan, dulu Cak Roes kerap menggelar pertemuan bersama sejumlah tokoh penting negeri ini, seperti Bung Karno dan Ahmad Jaiz, di surau depan rumah.
ADVERTISEMENT
"Masjid itu 'kan dulunya surau, dulu sering ada pertemuan tokoh-tokoh penting di sana. Kalau di rumah kan enggak cukup karena rumahnya kecil," ungkap Rahma seraya menunjuk masjid di depan rumahnya.
Menempati rumah bersejarah, Rahma mengakui sering kali dikunjungi wisatawan. Mulai dari kalangan mahasiswa, turis asing maupun lokal, hingga pencinta sejarah.
Pengunjung yang datang biasanya ingin mengenal lebih jauh sosok Cak Roes serta kisah-kisah perjuangan Indonesia di masa silam, karena memang di rumah ini terdapat banyak buku dan catatan sejarah yang ditinggalkan oleh Cak Roes semasa hidupnya.
Terkait banyaknya kunjungan wisatawan ke kediamannya, Rahma mengaku tak keberatan. Bahkan, ia mengaku senang karena dapat mengenalkan sosok Cak Roes lebih mendalam.
"Senang dan bangga, dengan demikian kan akan lebih banyak yang mengenal sosok Cak Roes. Kita harus tau dan mencintai pahlawan negeri ini. Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai perjuangan para pahlawannya," pungkas Rahma.
ADVERTISEMENT
Cak Roes sendiri menghembuskan napas terakhirnya pada 29 Juni 2009. Ayah lima anak ini dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata Jakarta. Kelima anaknya pun kini menetap di Jakarta. (Reporter: Masruroh/Editor: Windy Goestiana)