Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.98.1
Konten Media Partner
Mengenal Cancel Culture Diduga Jadi Sebab Jebloknya Film A Business Proposal
17 Februari 2025 17:53 WIB
·
waktu baca 4 menit
ADVERTISEMENT
Industri hiburan di Indonesia belakangan ini dikejutkan oleh kontroversi yang melibatkan Abidzar Al Ghifari, aktor utama dalam film "A Business Proposal" versi Indonesia. Kontroversi itu bermula dari pernyataan Abidzar yang mengungkapkan bahwa dia tidak membaca Webtoon ataupun menonton versi asli berupa drama Korea dari karya tersebut, dan ingin menciptakan karakternya sendiri.
ADVERTISEMENT
Perkataan ini menimbulkan reaksi keras dari netizen, yang kemudian mempengaruhi penerimaan film itu secara keseluruhan. Bahkan, skor ratingnya di IMDb (Internet Movie Database) merosot menjadi 1/10, dan penayangannya ditarik dari beberapa layar lebar. Fenomena ini mencerminkan cara masyarakat dalam merespons figur publik yang dianggap tidak sesuai dengan ekspektasi mereka, atau sering disebut sebagai Cancel Culture.
“Cancel culture adalah budaya pengenyahan. Jadi si aktor ini dienyahkan dari posisi yang semestinya dia miliki karena kata dan sikapnya. Targetnya memang menyingkirkan orang itu dari pekerjaan atau kesejahteraannya,” ungkap Meilinda, S.S., M.A., dosen English for Creative Industry Petra Christian University (PCU), Senin (17/2).
Bak nila setitik rusak susu sebelanga, ketika sang aktor mengalami cancel culture, seluruh tim produksi pun akan terkena imbasnya.
ADVERTISEMENT
Dosen dengan spesialisasi di bidang teater itu menyebut, sebagai figur publik, seorang aktor memang punya tanggung jawab atas perkataan dan tindakannya.
“Karena apa yang ia lakukan akan disorot, diperbincangkan, dan dijadikan dasar penilaian karakter pribadinya. Dalam konteks ini, pernyataan sang aktor dianggap arogan—sesuatu yang kurang dapat diterima dalam budaya Indonesia, di mana figur publik diharapkan bersikap rendah hati agar tetap diterima masyarakat,” jelasnya.
Dalam kasus “A Business Proposal”, sikap Abidzar yang dianggap tidak mengacu pada karakter versi asli menimbulkan perdebatan mengenai strategi dalam sebuah adaptasi.
“Jika sutradara ingin membuat adaptasi yang masih berpegang pada versi asal, maka aktornya perlu mempelajari dan mendiskusikan karya asli. Diskusi dengan sutradara sangat penting untuk menentukan elemen mana yang harus dipertahankan, diubah, atau ditekankan, agar adaptasi tetap relevan dan terjaga kesinambungannya dengan karya asli,” tutur Meilinda.
ADVERTISEMENT
Namun ia juga menambahkan bahwa dalam beberapa kasus, interpretasi baru bisa menjadi pendekatan yang sah, selama tetap memperhatikan kesesuaian dengan visi produksi. Itu sebabnya, pemilihan aktor yang tepat menjadi faktor penting dalam kesuksesan sebuah film.
“Aktor memegang peran krusial dalam sebuah film, karena mereka adalah wajah dan jiwa dari cerita yang disampaikan. Ia harus mampu menghidupkan karakter lewat ekspresi, emosi, dan gestur yang tepat, agar penonton dapat memahami perjalanan emosional karakter dengan baik,” ujar Meilinda.
Menurutnya, aktor yang tepat dapat membangun keterikatan emosional dengan penonton, baik dalam bentuk empati, kebencian, maupun kekaguman. Sebaliknya, jika casting kurang sesuai, penonton bisa merasa sulit tenggelam dalam cerita, bahkan jika skenario filmnya kuat. Selain kemampuan acting, citra publik dari seorang aktor juga mempengaruhi penerimaan film di pasar.
ADVERTISEMENT
“Dalam beberapa kasus, fenomena cancel culture, kontroversi atau reputasi buruk seorang aktor dapat berdampak negatif pada penerimaan film itu di masyarakat. Hal ini menjadi pertimbangan tambahan bagi produser dalam memilih pemeran yang tidak hanya berbakat, tapi juga punya citra yang baik,” tambahnya.
Meilinda menekankan pentingnya pemahaman karakter dalam setiap produksi film, terutama karya hasil adaptasi.
“Jika adaptasi masih terhubung dengan sumbernya, memahami versi asli membantu mempertahankan esensi karakter. Sebaliknya, jika adaptasi benar-benar ingin menghadirkan sesuatu yang baru, fleksibilitas dalam membangun karakter menjadi lebih penting daripada keterikatan pada referensi lama. Konsep adaptasi itu harus dipilih dengan baik, demi menciptakan interpretasi yang segar tanpa kehilangan daya tariknya,” imbuhnya.
Fenomena ini menjadi peringatan bagi para aktor dan produser untuk lebih bijak dalam menjaga citra pribadi mereka, tak hanya di dunia nyata, tapi juga dalam dunia maya. Karena opini publik bisa datang dengan sangat cepat, dan mempengaruhi citra individu serta kesuksesan sebuah karya.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, Meilinda mengemukakan bahwa cancel culture menciptakan kondisi di mana ruang untuk klarifikasi atau diskusi menjadi hilang. Jika terus berlanjut, fenomena itu bisa membentuk sebuah ekosistem digital di mana masyarakat semakin enggan mendengar perspektif lain. Segala bentuk pandangan, nilai, atau ideologi yang bertentangan dengan keyakinan individu/kelompok tertentu, berpotensi untuk dienyahkan secara cepat, tanpa ada upaya memahami atau mencari titik tengah di dalam perbedaan tersebut.