Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 ยฉ PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten Media Partner
Mengenal Fenomena Silent Quitting yang Kini Marak Terjadi di Dunia Kerja
30 April 2025 7:51 WIB
ยท
waktu baca 2 menit
ADVERTISEMENT
Budaya organisasi memainkan peran penting dalam membentuk sikap dan perilaku karyawan, termasuk kecenderungan mereka untuk terlibat dalam fenomena silent quitting. Fenomena silent quitting atau pengunduran diri secara diam-diam menjadi ramai diperdebatkan dalam dunia kerja. Dosen Fakultas Psikologi Universitas Airlangga (Unair), Dr Fajrianthi M Psi Psikolog, turut menyoroti fenomena silent quitting.
ADVERTISEMENT
Menurut Fajrianthi, silent quitting adalah reaksi terhadap berbagai stresor di tempat kerja, seperti ketidakpuasan kerja, ketidakseimbangan kehidupan dan pekerjaan, burnout, serta kepemimpinan yang buruk.
"Fenomena ini muncul ketika karyawan merasa tidak mendapat dukungan, kehilangan keterhubungan dengan organisasi, atau berada dalam lingkungan kerja bertekanan tinggi," ujar Fajrianthi, dalam keterangannya seperti dikutip Basra, Rabu (30/4).
Melalui perspektif psikologi, silent quitting dapat dipahami melalui engagement theory yang menunjukkan bahwa kurangnya keterlibatan emosional dapat mendorong perilaku pasif seperti silent quitting, embeddedness theory yang menjelaskan bahwa karyawan yang kehilangan keterhubungan emosional, namun tetap bertahan karena alasan eksternal seperti ekonomi, cenderung mengambil sikap tersebut. Selanjutnya, Model Job Demands-Resources (JD-R) menyoroti bahwa ketidakseimbangan antara tuntutan kerja yang tinggi dan sumber daya yang terbatas dapat memicu kelelahan dan penarikan diri.
ADVERTISEMENT
Lebih lanjut, Fajrianti mengidentifikasikan bahwa terdapat beberapa faktor psikologis yang dapat menyebabkan silent quitting, seperti burnout akibat stres kerja berkepanjangan, ketidakpuasan kerja karena kurang pengakuan, kurangnya dukungan organisasi, serta budaya organisasi yang toksik.
Ia juga menyebutkan bahwa dari beberapa jurnal hasil penelitian, fenomena ini banyak ditemukan pada generasi milenial dan Gen Z. Generasi ini cenderung mengutamakan keseimbangan hidup kerja dan mencari makna dalam pekerjaan. "Ketika harapan ini tidak terpenuhi, mereka cenderung menarik diri secara emosi dari pekerjaan," terangnya
Kendati demikian, fenomena silent quitting yang berkelanjutan ini dapat memberikan dampak negatif bagi kesehatan mental individu. Dalam hal tersebut, Fajrianthi menekankan bahwa budaya organisasi berperan penting dalam mencegah atau justru memperparah silent quitting. Budaya yang positif dengan komunikasi terbuka dan dukungan nyata terhadap kesejahteraan karyawan dapat meningkatkan keterlibatan.
ADVERTISEMENT
"Sebaliknya, budaya negatif yang dicirikan oleh hierarki yang kaku, kurangnya transparansi, dan kompetisi internal dapat menjauhkan karyawan, memicu ketidakpedulian, dan pada akhirnya mengarah pada silent quitting," lanjut Fajrianthi.
Sebagai solusinya, ia merekomendasikan beberapa pendekatan yang dapat membantu memulihkan motivasi dan keterlibatan kerja, seperti, meningkatkan dukungan organisasi, mengembangkan kepemimpinan, memperbaiki komunikasi, serta memberikan otonomi dan fleksibilitas kerja kepada karyawan.