Konten Media Partner

Mengurai Fenomena Kotak Kosong di Pilkada, Sejumlah Pakar Sampaikan Ini

26 November 2024 6:57 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Diskusi publik bertajuk 'Kotak Kosong dan Demokrasi dalam Big Data' yang digelar UPN Veteran Jatim.
zoom-in-whitePerbesar
Diskusi publik bertajuk 'Kotak Kosong dan Demokrasi dalam Big Data' yang digelar UPN Veteran Jatim.
ADVERTISEMENT
Adanya fenomena kotak kosong dalam gelaran Pilkada Serentak 2024 masih menjadi sorotan sejumlah pihak. Salah satunya Pusat Kajian Transformasi Masyarakat dan Budaya Digital Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Jawa Timur yang menggelar Diskusi Publik bertajuk Kotak Kosong dan Demokrasi dalam Big Data, Senin (25/11) kemarin. Acara itu menghadirkan sejumlah pakar komunikasi politik untuk membahas fenomena Kotak Kosong. Hasilnya, mereka sepakat untuk mengusulkan Threshold atau ambang batas ditiadakan atau dihapus.
ADVERTISEMENT
Hadir sebagai pembicara dalam diskusi publik itu adalah Guru Besar Komunikasi Politik Unair Prof. Henry Subiakto, SH., MS, Guru Besar Ilmu Politik Unair sekaligus Warek 1 Unusa Prof. Kacung Marijan, MA., PhD, Guru Besar Komunikasi Politik sekaligus Dekan FISIP Universitas Brawijaya Prof. Anang Sujoko, D.Comm, dan Dekan FISIP UPN Veteran Jatim Dr. Catur Suratnoaji, M.Si. Hadir pula perwakilan dari KPU Jawa Timur, Bawaslu Jawa Timur, Bakesbangpol Jawa Timur dan Diskominfo Jawa Timur.
Guru Besar Ilmu Politik Unair sekaligus Warek 1 Unusa Prof. Kacung Marijan menjelaskan secara kelembagaan memang ada dorongan ke arah kotak kosong, yaitu dengan adanya Threshold itu. Selain itu, karakterisasi dari proses politik termasuk pencalonan siapa yang menjadi kepala daerah menjadi kekuatan terpusat, sehingga kompetisi itu menjadi berkurang dengan adanya calon tunggal itu.
ADVERTISEMENT
“Ini juga didorong oleh personalisasi dari pilkada itu, termasuk pencalonan adanya sosok yang kuat sehingga orang itu berpandangan siapa pun yang akan melawan tidak akan menang. Implikasinya partai-partai itu akan cenderung mengelompok kepada tokoh yang kuat, termasuk di pilkada Surabaya,” kata Prof Kacung.
Oleh karena itu, ia mengusulkan Threshold harus segera ditiadakan, sehingga sejak awal orang-orang sudah mulai berkompetisi dan orang-orang yang akan dicalonkan sudah mempersiapkan diri sejak 5 tahun sebelumnya. Dengan demikian, partai apa pun yang memiliki kursi di dewan, sudah bisa mempersiapkan diri.
“Kalau incumbent (petahana) itu kan sudah mempersiapkan diri sejak 5 tahun lalu dan akan susah melawannya. Jadi, biar fair dan kompetisi itu tetap terbuka, maka Threshold itu harus ditiadakan sehingga partai bisa mencalonkan diri,” tegasnya.
ADVERTISEMENT
Guru Besar Komunikasi Politik Unair Prof. Henry Subiakto juga sepakat untuk meninjau dan menguji ulang Threshold itu. Pasalnya, ia menilai fenomena kotak kosong ini merupakan sebuah kekurangan dalam demokrasi Indonesia. Selain itu, ia menilai perlu dikritisi kekuatan yang mengarahkan kepada kristalisasi kepada satu pasangan calon.
“Ini masyarakat perlu kritis dengan fenomena itu, dan Threshold itu menjadi solusi untuk membenahi system demokrasi kita ini,” tegasnya.
Dekan FISIP UPN Veteran Jawa Timur Dr. Catur Suratnoaji juga mengamini kalau Threshold itu perlu ditiadakan ke depannya. Sebab, dia juga tidak ingin ada lagi kotak kosong di pilkada selanjutnya.
“Kotak kosong ini seperti hantu yang wujudnya tidak nampak jelas karena merupakan kelompok minoritas,” katanya.
Bagi dia, kalau pun nanti tetap ada kotak kosong, maka yang diperlukan adalah perlakuan yang sama dengan pasangan calon, termasuk dari fasilitasnya, sehingga dengan cara itu kompetisi dalam pilkada itu tetap fair.
ADVERTISEMENT
“Ketika ada yang menyuarakan tentang kotak kosong, maka seharusnya juga dihargai dan difasilitasi karena kelompok kotak kosong ini saat ini termarjinalkan. Melalui cara ini, maka kompetisi tetap bisa fair dan tetap adil,” tandasnya.