Konten Media Partner

Pakar di Surabaya Ingatkan Kebijakan Tapera Tak Jadi Ladang Bisnis

1 Juni 2024 6:37 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Pakar di Surabaya Ingatkan Kebijakan Tapera Tak Jadi Ladang Bisnis
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Tingginya harga rumah setiap tahunnya menyebabkan mayoritas masyarakat di Indonesia sulit dapat membeli rumah, terutama masyarakat menengah ke bawah. Pemerintah lantas menciptakan kebijakan Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) sebagai solusi atas persoalan tersebut.
ADVERTISEMENT
Alih-alih menyelesaikan persoalan, kebijakan tersebut justru menuai pro dan kontra di tengah masyarakat. Merespons isu tersebut, Ekonom Universitas Airlangga (Unair) Dr Ni Made Sukartini SE MSi MIDEC turut buka suara. Ia mengatakan, kebijakan Tapera telah diatur sejak lama pada UU Nomor 4 Tahun 2016.
“Pada tahun ini, kebijakan tersebut dilengkapi dan diperbarui kembali dalam Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2020. Dasar-dasar hukum kebijakan itu telah terbentuk sejak UU Nomor 4 dikeluarkan pada tahun 2016,” ujar Ni Made, dalam keterangannya, seperti dikutip Basra, Sabtu (1/6)
Melalui Tapera, pemerintah berusaha membantu masyarakat memiliki rumah dengan cara menabung. Singkatnya, Tapera merupakan bentuk tabungan dan bersifat memaksa dengan memangkas upah pekerja sebesar 3 persen dengan komposisi 2,5 persen ditanggung pekerja dan 5 persen ditanggung perusahaan pemberi kerja.
ADVERTISEMENT
Made menerangkan, penerapan Tapera lebih cocok untuk kelompok pekerja formal dan pekerja yang diatur dalam hubungan industrial.
Menurutnya, kebijakan itu akan sulit apabila diterapkan untuk pekerja informal pasalnya mereka memiliki sistem pembayaran upah yang tidak teratur.
“Yang menjadi persoalan terletak pada adanya ketidaksinambungan hubungan pekerja informal. Perlu diketahui, bahwa jumlah kelompok pekerja informal lebih banyak dibanding pekerja formal di Indonesia. Hal ini berdampak pada ketidakseimbangan perlakuan pada kelompok pekerja di Indonesia,” terang Made.
Umumnya, kelompok masyarakat kelas menengah akan berasosiasi dengan kelompok pekerja tetap atau formal. Pekerja tetap memiliki sumber pendapatan yang pasti dibayarkan setiap minggu atau bulan. Upah yang dimiliki setara dengan Upah Minimum Regional (UMR).
Jumlah besaran UMR telah dipertimbangkan secara matang dan mengedepankan kelayakan kebutuhan hidup, termasuk kebutuhan sewa tempat tinggal. Artinya, masyarakat menengah tanpa dipaksa menabung melalui Tapera, kelompok itu juga mampu membeli rumah dengan menyesuaikan budget.
ADVERTISEMENT
“Langkah pemerintah dalam mengatasi persoalan itu cukup baik, namun pemerintah harus melakukan sosialisasi dengan baik terkait kebijakan itu. Baik dari menjamin sistem tata kelembagaan yang mengelola tabungan ini professional, accountable dan transparan serta harus belajar dari kebijakan yang sejenis seperti dana pensiun, BPJS Kesehatan dan Ketenagakerjaan,” paparnya.
Melihat pada kasus-kasus sebelumnya, Made menegaskan bahwa kebijakan itu harus melalui pengawasan yang ketat. Jangan sampai kebijakan tersebut menjadi ladang bisnis mengingat adanya excess demand (kelebihan permintaan) perumahan dibanding penawaran serta persoalan keterjangkauan harga.
“Para pekerja formal dan kelas menengah yang memiliki Tapera dan sudah mampu memiliki rumah dapat saja menjual rumah yang dibeli melalui Tapera misalnya. Sehingga kebijakan ini menjadi tidak tepat sasaran. Dengan hal lain, perlu penataan aspek kelembagaan yang melengkapi sebuah kebijakan publik,” ujarnya.
ADVERTISEMENT
Pengajar Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Unair itu menekankan, sebuah kebijakan dapat dikatakan tepat sasaran apabila yang ditargetkan menjadi penerima manfaat (beneficiary) terpenuhi. Artinya, dalam kebijakan Tapera harus melakukan pengkajian ulang untuk memberikan kebermanfaatan bagi masyarakat.