Pakar Ungkap Fenomena Childfree Bisa Pengaruhi Ekonomi Negara

Konten Media Partner
14 Februari 2023 10:33 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Pixabay.
zoom-in-whitePerbesar
Pixabay.
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Belakangan, fenomena childfree kembali menjadi perbincangan masyarakat. Hal ini akibat pernyataan kontroversial influencer Gita Savitri yang menyebut tak punya anak sebagai cara alami awet muda. Selain itu, ia juga mengatakan, jika mempunyai anak merupakan beban baginya.
ADVERTISEMENT
Fenomena childfree sendiri sebenarnya bukan fenomena baru yang ada di dunia. Bahkan hal tersebut sudah banyak terjadi di beberapa negara maju.
Prof Dra Ec Dyah Wulansari MEcDev PhD, menyebutkan, childfree bukan hanya berdampak pada permasalahan sosial saja, beberapa aspek, seperti ekonomi pun juga terkena.
Menurut Dyah, fenomena childfree bagi masyarakat Indonesia merupakan hal yang sangat tabu. Dengan budaya yang mengakar, memiliki anak masih dianggap sebuah kebutuhan, bahkan penarik berkah tersendiri.
“Kita ini bela-belain ya untuk punya anak. Kalau sulit, bahkan bela-belain untuk menggunakan bayi tabung sampai ke luar negeri yang biayanya cukup mahal,” ujarnya, Selasa (14/2).
Dalam perspektif ekonomi, Dyah mengatakan, childfree tidak selamanya buruk. Bahkan bagi beberapa pihak justru akan menguntungkan.
ADVERTISEMENT
Wanita yang memilih untuk tidak punya anak, akan bertambah keproduktifannya dalam bekerja. Dan hal ini tentu akan menguntungkan perusahaan tempat ia bekerja.
“Bagi pengusaha itu seneng juga ya, karena si wanita tidak punya anak, dia bisa bekerja dan tidak cuti melahirkan. Itu kan ada undang-undangnya, bahwa wanita yang bekerja, dan dia melahirkan, maka berhak mendapatkan cuti. Itu sisi pengusaha,” tuturnya.
Meski demikian, Pakar Ekonom Unair ini menuturkan, jika childfree telah mempengaruhi demografi beberapa negara, seperti Jepang dan Korea Selatan.
Kedua negara ini bahkan memberikan insentif untuk mendorong warganya agar memiliki anak karena tingkat kelahiran yang semakin turun. Tren angka kelahiran yang rendah dalam jangka panjang dapat menyebabkan krisis sumber daya manusia dan memengaruhi ekonomi sebuah negara.
ADVERTISEMENT
“Kalau di luar, negara yang penduduknya sedikit, mungkin boleh dikatakan krisis sumber daya sehingga harga tenaga kerja mahal. Mereka akan diganti oleh mesin-mesin, itu kan akan berkembang seperti itu,” ucapnya.
Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Unair ini mengatakan, jika banyak hal yang bisa dilakukan dan menjadi solusi bagi wanita yang ingin tetap bekerja walaupun mempunyai anak.
Misalnya saja dengan menitipkan anak di childcare hingga meminta bantuan kepada orang dekat. Selain itu, memiliki anak tidak bisa dibandingkan dan disetarakan dengan hal bersifat.
“Kalau ingin bahagia itu tidak harus tidak punya anak, ya. Banyak sekali alternatif yang bisa dilakukan, seperti hidup sehat, bagaimana menyikapi diri, olahraga, makan yang teratur, dan keseimbangan dalam hidup,” tukasnya.
ADVERTISEMENT