Konten Media Partner

Pandemic Fatigue Jadi Penyebab Kasus COVID-19 Kembali Melonjak

9 Juni 2021 13:39 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Pixabay.
zoom-in-whitePerbesar
Pixabay.
ADVERTISEMENT
Saat ini, beberapa kota/kabupaten di Jawa Timur telah terjadi lonjakan kasus COVID-19. Bahkan berapa di antaranya, mengalami peningkatan kasus yang signifikan.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan data dari http://infocovid19.jatimprov.go.id/, per tanggal 8 Juni 2021, tercatat sudah ada 157.016 kasus terkonfirmasi, 389 kasus baru, 254 orang sembuh, dan 37 orang meninggal dunia. Dari 389 kasus baru tersebut, 80 orang di antaranya berasal dari Kabupaten Bangkalan, Madura.
Menanggapi hal itu, dr. Decsa Medika Hertanto, SpPD, membenarkan, jika saat ini beberapa daerah di Indonesia, termasuk di Jawa Timur memang mengalami lonjakan kasus COVID-19.
Menurutnya, lonjakan tersebut terjadi karena pandemic fatigue. Yakni kondisi ketika seseorang lelah dengan ketidakpastian kapan sebuah pandemi akan berakhir.
Pada akhirnya, pandemic fatigue membuat banyak orang mulai tidak mematuhi protokol kesehatan guna mencegah penularan virus COVID-19.
"Jadi memang ada peningkatan kasus yang positif. Masyarakat ini sudah lelah dalam kondisi pandemi. Kemudian kita juga masuk sosial, jadi ada keinginan untuk bersosialisasi. Dan saat bersosialisasi lupa menjalankan prokes. Seperti diketahui di beberapa daerah, di video-video viral banyak krang sudah tidak pakai masker. Padahal di prokes masker merupakan poin utama," kata dr. Decsa ketika dihubungi Basra, Rabu (9/6).
ADVERTISEMENT
Selain itu, dr. Decsa mengungkapkan, jika saat ini masyarakat juga mulai menjalankan kehidupan normal seperti biasa, dan denial terhadap kondisi pandemi.
"Jadi mengaggap COVID-19 ini nggak ada, dan itu terus digaungkan dan risikonya beragam. Itu yang terjadi di masyarakat. Padahal kita sudah tau bahwa mutasi virus di dunia sudah masuk di indonesia. Dan memang beberapa mutasi virus itu lebih mudah menular, dan lebih mudah menimbulkan komplikasi yang lebih berat dibanding virus terdahulunya," ungkapnya.
Ketika ditanya lebih lanjut terkait kembali melonjaknya COVID-19 apakah gelombang dua di Indonesia, dokter spesialis penyakit dalam ini menjelaskan jika saat ini memang terjadi peningkatan kasus.
"Wallahu a'lam kita nggak pernah tau. Kalau diliat dari trend-nya memang terjadi peningkatan grafik. Sebelumnya kan 4 – 5 ribu. Sekarang stabil di 6.800 – 6.900 kasus. Kita nggak tau akan tembus di 7 ribu atau 8 ribu," tuturnya.
Pixabay.
Selain adanya peningkatan grafik, ia juga menuturkan, di beberapa daerah fasilitas kesehatan sudah menolak pasien atau dalam artian lockdown rumah sakitnya. Hal itu karena over kapasitas dan terbatasnya tenaga kesehatan.
ADVERTISEMENT
"Gelombang pertama pun kita belum landai dan sekarang naik lagi. Kita nggak bisa menyebut ini gelombang dua atau bagaimana," tutur dokter yang juga aktif melakukan edukasi di media sosial Instagram ini.
Guna menekan kasus tersebut, dr. Decsa mengatakan, yang paling mudah adalah kita menjaga diri dan lingkungan terdekat yang ingin kita lindungi dengan tetap menerapkan protokol kesehatan.
"Prokes saja sudah cukup jika dijalankan bersama dan serentak. Tapi kalau ada yang menjalankan dan ada yang tidak, nah itu yang menjadi masalah. Karena mutasi itu terbentuk ya karena kita sendiri memberikan wadah, memberikan kesempatan pada virus untuk bermutasi," ucapnya.
Selain itu, masyarakat juga harus paham pentingnya protokol kesehatan, kemudian kenapa pandemi harus segera usai, dan apa dampak yang terjadi kalau pandemi ada.
ADVERTISEMENT
"Sehingga mereka paham bagaimana cara menghentikan pandemi. Dengan cara menjalankan prokes dengan baik, mematuhi aturan dari pemerintah, mengikuti himbauan dari pemerintah. Jadi mereka paham bahwa kita akan mencapai tujuan yang sama. Kalau mereka nggak paham tujuan apa yang akan kita capai, itu ya sulit juga," tambahnya.
Lalu, dari pemerintah juga harus lebih tegas membuat kebijakan sehingga masyarakat nggak bingung lagi.
"Sama tegas terhadap hoaks. Karena hoaks memicu terjadinya ketidakpercayaan terhadap suatu kebijakan dari pemerintah. Atau menghambat tranfer ilmu dari pemerintah, tenaga kesehatan ke masyarakt. Jadi memang hoaks harus benar diberantas. Kalau setengah-setengah membrantasnya, masyarakat akan terus mendapatkan informasi yang tidak benar. Bahayanya informasi yang tidak benar diperkaya, akan mengacaukan program dari pemerintah juga," pungkasnya.
ADVERTISEMENT