Konten Media Partner

PPN Naik 12%, Profesor di Surabaya Ungkap Dampaknya Bagi Masyarakat

20 November 2024 7:11 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi pasar. Foto: Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi pasar. Foto: Pixabay
ADVERTISEMENT
Pemerintah resmi menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12%. Pemberlakuannya akan dimulai pada 1 Januari 2025. Kebijakan ini menimbulkan berbagai pro kontra di kalangan ahli maupun masyarakat. Apalagi jika melihat terjadinya penurunan kelas menengah dan daya beli di masyarakat Indonesia.
ADVERTISEMENT
Menanggapi kebijakan tersebut, Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Airlangga (Unair), Prof Rossanto Dwi Handoyo SE MSi PhD, memberikan pandangannya. Menurutnya, jika ditinjau dari pertumbuhan ekonomi, kondisi ekonomi Indonesia kini masih berada dalam kondisi baik.
Prof Rossanto juga menjelaskan terkait kondisi neraca perdagangan yang masih surplus. Kondisi tersebut menandakan ekspor Indonesia lebih banyak daripada jumlah impornya.
“Dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi di negara-negara lain, kita sudah termasuk sangat bagus. Cina saja sekarang di bawah 5% ya,” ungkap Prof Rossanto dalam keterangannya, seperti dikutip Basra, Rabu (20/11).
Pada 2019 hingga 2024 terjadi penurunan jumlah kelas menengah di Indonesia. Menurut Prof Rossanto, efek pandemi COVID-19 menjadi salah satu penyebab penurunan kelas ini.
ADVERTISEMENT
“Memang kalangan menengah kita belum pulih sejak COVID-19. Saat itu terjadi penurunan (kelas menengah) yang sangat drastis,” ungkapnya.
Sementara terkait turunnya daya beli masyarakat, Prof Rossanto berpendapat bahwa pemerintah telah melakukan upaya yang baik dalam menjaga daya beli masyarakat. Misalnya, dari harga bahan bakar minyak (BBM), Indonesia cenderung stabil di tengah kondisi perang yang terjadi di beberapa negara lain.
"Menurut saya strategi pemerintah pintar (dalam) menjaga daya beli masyarakat dari sisi administrative price,” katanya.
Sementara terkait deflasi yang terjadi selama 5 bulan berturut-turut. Prof Rossanto berpendapat bahwa kemungkinan ada dua penyebab dari fenomena ini. Pertama karena banyaknya pasokan barang (supply) atau justru menurunnya permintaan (demand).
“Ini yang masih harus dikaji, besar mana antara supply banyak atau demand yang turun,” ujar Rossanto.
ADVERTISEMENT
Pada dasarnya, PPN adalah pajak yang pemerintah berikan kepada produsen yang mengolah barang mentah menjadi produk. Secara umum, kenaikan PPN ini akan menurunkan konsumsi masyarakat, namun tetap bisa meningkatkan APBN.
“Pasti ada kenaikan harga, tapi kenaikannya itu masih manageable,” paparnya.
Prof Rossanto mengharapkan kenaikan APBN ini mampu menjadi stimulus ekonomi melalui government spending.
“Misalnya bangun jalan, bandara, pelabuhan itu bisa meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Tapi, konsumsi masyarakat yang menurun karena pajak itu juga harus diperhatikan,” ujarnya.
Oleh karena itu, efektivitas pemerintah dalam mengelola APBN nantinya akan sangat penting.
“Tolong kalau pemerintah membelanjakan APBN ini harus efektif. Itu untuk kepentingan masyarakat. Jangan sampai buat infrastruktur, tapi terbengkalai. Pastikan itu bermanfaat untuk masyarakat di sana,” pungkasnya.
ADVERTISEMENT