Konten Media Partner

Profesor Asal London Ungkap Dampak Buruk Stigma Bagi Penyandang Disabilitas

22 September 2024 8:15 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Profesor Asal London Ungkap Dampak Buruk Stigma Bagi Penyandang Disabilitas
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Lingkungan memiliki pengaruh besar bagi penyandang disabilitas untuk berpartisipasi penuh pada masyarakat. Tak hanya hambatan fisik, penyandang disabilitas harus menghadapi stigma yang menyebabkan adanya ketidaksetaraan perlakuan.
ADVERTISEMENT
Guna memahami stigma tersebut dan mengatasinya, Fakultas Psikologi (FPsi) Universitas Airlangga (Unair) menghadirkan Prof Katrina Scior PhD, Profesor Clinical Psychology and Stigma Studies dari University College London dalam gelaran International Virtual Symposium 2024, belum lama ini.
Dalam kesempatan tersebut, Prof Katrina mengajak audiens untuk mengenal lebih jauh tentang stigma, dampaknya, serta langkah mengatasi stigma disabilitas.
Secara bahasa, stigma berasal dari Yunani Kuno yang artinya ‘tanda’. Stigma merupakan proses “menandai” atau mendiskreditkan identitas seseorang dan menganggapnya ternoda atau rendah. Stigma seringkali menancap hingga ke alam bawah seseorang dan mengaburkan jati diri individu sebenarnya.
“Sederhananya, pembentukan stigma melibatkan tiga elemen. Yaitu ketika individu atau sekelompok orang di sekitar seseorang berprasangka buruk akan suatu hal yang menuntun mereka kepada diskriminasi,” jelas Prof Katrina.
ADVERTISEMENT
Selain menjelaskan tipe stigma, Prof Katrina juga memaparkan dampak buruk adanya stigma pada penyandang disabilitas.
“Stigma terhadap penyandang disabilitas menyebabkan penolakan terhadap hak untuk menentukan nasib sendiri, diskriminasi dalam berbagai sektor seperti pendidikan dan pekerjaan. Selain itu, mereka sering dikeluarkan dari kehidupan sosial dan menjadi sasaran pelecehan serta kejahatan kebencian,” papar psikolog klinis itu.
Berdasarkan model yang Prof Katrina kembangkan, terdapat empat level di mana stigma disabilitas secara bertahap perlu dipahami dan diberantas.
“Dalam struktur terluar, kita perlu memberantas stigma pada level institusi. Selanjutnya stigma juga perlu kita berantas pada level komunitas, level keluarga, dan yang terakhir dan paling penting adalah menghilangkan stigma dalam level individual,” ungkapnya.
Pada level institusi dan komunitas, Prof Katrina mengingatkan bahaya dari benevolent ableism seperti memuji berlebihan maupun menggantikan aktivitas penyandang disabilitas. Alih-alih mendukungnya untuk melakukannya sendiri. Walau terkesan positif, perilaku ini memandang penyandang disabilitas sebagai individu yang perlu dikasihani dan memperparah stigma yang beredar.
ADVERTISEMENT
Pada level keluarga Prof Katrina menekankan pentingnya penerimaan, terutama orang tua, pada kondisi penyandang disabilitas. Terakhir, pada level individu stigma dapat direduksi dengan meningkatkan kapasitas diri, mempertahankan self-esteem, dan mendukung penyandang untuk membela diri guna menghadapi stigma yang dialami.