news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Risma Menangis dan Sujud di Depan Pengurus IDI: Saya Memang Goblok

Konten Media Partner
29 Juni 2020 11:11 WIB
comment
50
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Wali Kota Tri Rismaharini memimpin audiensi dengan pengurus IDI Surabaya.
zoom-in-whitePerbesar
Wali Kota Tri Rismaharini memimpin audiensi dengan pengurus IDI Surabaya.
ADVERTISEMENT
Pada Senin 29 Juni 2020 Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini menggelar audiensi bersama pengurus Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Surabaya untuk mengetahui penyebab tingginya angka kematian pasien COVID-19 di Surabaya dan Jawa Timur.
ADVERTISEMENT
Persentase kematian pasien COVID-19 di Jawa Timur lebih tinggi dari rata-rata nasional. Pada Jumat 26 Juni 2020, ahli epidemiologi dari Universitas Airlangga Surabaya, Windhu Purnomo menyebut case fatality rate (CFR) akibat COVID-19 di Jawa Timur saat ini 7,3 sedangkan nasional 5,2.
Saat sedang mendengar pemaparan dr. Sudarsono, Sp.P (K) yang menyebut penyebab tingginya jumlah kematian pasien COVID-19 karena masih banyak pasien yang tidak dapat kamar di RSUD Dr Soetomo, tiba-tiba saja Wali Kota Risma berdiri dari duduknya, mendatangi meja Sudarsono, bersujud, sambil terisak menangis.
Melihat wali kota perempuan itu menangis, Sudarsono dan sejumlah staf Risma pun berusaha mengangkat Risma untuk berdiri meski kemudian Risma bersimpuh dan tetap menangis.
Wali Kota Risma saat bersimpuh meminta maaf pada pengurus IDI Surabaya. Foto: Windy Goestiana/Basra
Bahkan Risma juga sempat mengatakan dirinya (maaf) goblok dan tak pantas memimpin Surabaya. "Maaf Pak Sudarsono saya ini memang goblok. Saya enggak pantas jadi wali kota Surabaya," kata Risma.
ADVERTISEMENT
Melihat situasi tersebut, Ketua IDI Surabaya, dr. Brahmana Askandar, SpOG langsung menengahi sesi audiensi.
Menurut hasil analisis dokter spesialis paru dan anastesi yang tergabung IDI Surabaya, ada beberapa penyebab mengapa jumlah pasien COVID-19 meninggal lebih tinggi di Surabaya.
Penyebab pertama, jumlah ventilator di masing-masing rumah sakit tidak sebanding dengan pasien bergejala berat yang sedang dirawat.
Kedua, banyak pasien tidak mendapat kamar di rumah sakit karena pasien yang sudah dinyatakan sembuh tidak segera dipulangkan karena menunggu 2 kali uji PCR yang rentang waktu uji PCR pertama dan kedua sekitar 2 minggu.
"Proporsi pasien yang harus keluar dan masuk itu tidak sebanding. Karena banyak pasien yang sudah di PCR 1 kali dan hasilnya negatif, ternyata menurut aturan belum bisa pulang karena menunggu 2 kali PCR. Banyak RS khawatir kalau pasien dipulangkan sebelum 2 kali PCR, nanti enggak bisa klaim biaya ke pemerintah. Jadi kami harap bisa dapat solusi di audiensi ini," kata Ketua IDI Surabaya, dr. Brahmana SpOG.
ADVERTISEMENT
Mendengar penjelasan dr. Brahamana, Risma pun menegaskan akan membayar klaim pasien COVID-19 di Surabaya meski satu kali PCR.
"Kalau pasien itu warga Surabaya, kami bayar klaimnya. Itu sudah saya sampaikan sejak awal penanganan. Dipulangkan saja, nanti kami yang bayar," kata Risma.
Penyebab ketiga mengapa kematian karena COVID-19 jadi tinggi, menurut analisis dr. Christrijogo, spesialis anestesi dari RSUD Dr Soetomo karena adanya kondisi "happy hypoxia".
Happy hypoxia adalah kondisi saturasi oksigen di tubuh menurun drastis karena adanya gangguan di paru-paru. Kondisi happy hypoxia ini bisa dialami orang-orang yang tidak mengalami batuk kering dan demam.
Kondisi happy hypoxia ini menurut dr. Christrijogo memicu kematian mendadak meski orang tersebut tidak memiliki gejala COVID-19 atau bahkan sudah dinyatakan sembuh.
ADVERTISEMENT
"Jadi untuk warga yang isolasi mandiri, harus selalu dicek saturasi oksigennya. Karena ada kondisi "happy hypoxia" yang membuat orang kehilangan kesadaran lalu meninggal mendadak," kata dr. Christrijogo Spesialis anestesi dari RSUD Dr Soetomo dalam sesi yang sama.
Menurut dr. Christrijogo, pada orang yang sehat biasanya memiliki saturasi oksigen sekitar 95 persen.
Namun pada pasien COVID-19 saturasi oksigen ini bisa turun sampai 70 persen. "Karena itu untuk warga yang isolasi mandiri harus dicek berkala saturasi oksigennya. Kalau di bawah 70 persen, kerja jantung, paru-paru, dan otak sudah terganggu. Meski dia OTG, kalau saturasinya turun drastis, mereka harus dirujuk ke RS untuk dapat perawatan ventilator," kata dr. Christrijogo.
Mendengar saran tersebut, Wali Kota Risma berjanji akan menyediakan pulse oxymeter untuk mengukur saturasi oksigen dan menurunkan angka kematian mendadak karena COVID-19.
ADVERTISEMENT
Simak video di bawah ini: