Sarbikyanto, 15 Tahun Menerjemahkan Simbol-simbol di Arca Kuno

Konten Media Partner
25 Agustus 2019 7:44 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Sarbikyanto, penerjemah simbol-simbol di arca kuno. Foto-foto : Masruroh/Basra
zoom-in-whitePerbesar
Sarbikyanto, penerjemah simbol-simbol di arca kuno. Foto-foto : Masruroh/Basra
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Berawal dari rasa penasaran pada simbol-simbol yang terpahat di arca kuno, Sarbikyanto akhirnya mempelajari cara menerjemahkan simbol-simbol di artefak secara otodidak.
ADVERTISEMENT
Pria kelahiran 1965 itu mulai serius mempelajari simbol-simbol artefak sejak 15 tahun lalu. "Setiap posisi patung artefak pasti ada maknanya, kenapa tangannya bersedekap? Kenapa tangannya ada di atas pangkuannya? Kenapa kepalanya menoleh ke kanan? Itu semua pasti ada maksudnya. Saya penasaran artinya, sehingga saya mulai belajar menerjemahkannya," jelas pria yang karib disapa Yanto ini, kepada Basra, Sabtu (24/8).
Yanto mempelajari simbol-simbol pada artefak secara otodidak. Sebagai lulusan STM jurusan Teknologi Mesin tentunya Yanto tak memiliki latar belakang pendidikan sejarah kuno. Namun keinginannya untuk memecahkan makna di balik simbol-simbol artefak sangatlah kuat.
Yanto mulai belajar dengan rajin membaca buku-buku sejarah kuno. Dia juga kerap berkunjung ke situs-situs purbakala, seperti yang terdapat di kawasan Trowulan, Mojokerto.
ADVERTISEMENT
Bukan perkara mudah bagi Yanto mempelajari simbol-simbol pada artefak. Namun keinginan yang kuat menjadi motivasi baginya untuk terus belajar.
"Patung atau relief itu wujudnya abadi. Dan setiap posisi pada patung tersebut merupakan bahasa, ada maknanya. Jadi kita bisa menerjemahkannya," imbuh pria yang kesehariannya berjualan di kawasan sentra kuliner di Surabaya Timur ini.
Arca Joko Dolog di Surabaya.
Yanto mencontohkan, Arca Joko Dolog yang bisa kita temui di dekat Taman Apsari menunjukkan tangan kanannya mengarah ke bawah. "Posisi itu menggambarkan karakter sang raja yang selalu membumi," kata Yanto.
Setiap dua bulan sekali Yanto selalu mendatangi situs-situs bersejarah, di antaranya di Trowulan, sekitaran Pasuruan, hingga Candi Ceto Jawa Tengah.
Menurut Yanto, artefak di kawasan Blitar jadi yang paling sulit untuk diterjemahkan. "Artefak-artefak di Blitar yang paling susah dibaca karena kondisinya banyak yang rusak. Artefak bisa dibaca sempurna kalau kondisinya masih bagus," imbuhnya.
ADVERTISEMENT
Dalam setiap melakukan perjalanan ke situs-situs bersejarah, Yanto kerap mengajak kalangan mahasiswa. Ia ingin kalangan muda mencintai sejarah Nusantara dengan melibatkan mereka secara langsung dalam penelitian yang dilakukan.
"Memang tidak banyak mahasiswa yang ikut karena kita kan biaya mandiri. Tapi paling tidak masih ada anak-anak muda yang tertarik dengan sejarah Nusantara. Mereka antusias dan harus diberikan banyak kesempatan untuk ikut menjelajah sejarah Nusantara," pungkasnya.
Reporter: Masruroh Editor: Windy Goestiana