Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten Media Partner
Sikap BEM ITS dan Unair Soal "Jokowi The King of Lip Service"
29 Juni 2021 13:53 WIB
·
waktu baca 3 menitDiperbarui 13 Agustus 2021 13:44 WIB

ADVERTISEMENT
Baru-baru ini, Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia (BEM UI) mengkritik Presiden Joko Widodo melalui postingan di Instagram @bemui_official.
ADVERTISEMENT
Dalam postingannya, BEM UI menyebut presiden ke-7 Indonesia itu sebagai King of Lip Service. Julukan tersebut diberikan karena Jokowi dianggap mengeluarkan janji yang tak sesuai realita, misalnya terkait rindu didemo hingga penguatan ke KPK.
Bahkan postingan tersebut mendapat beragam respon, tak terkecuali dari pihak rektorat UI yang mengingankan unggahan tersebut agar dihapus.
Menanggapi hal itu, Presiden BEM Universitas Airlangga (Unair) Surabaya Muhammad Abdul Chaq mengatakan, apa yang dilakukan oleh BEM UI merupakan simbol bahwa mahasiswa masih mempunyai keberanian untuk menyampaikan kritikan kepada pemerintah.
"Apa yang dilakukan teman-teman UI menjadi satu simbol bahwa teman-teman mahasiswa masih memiliki keberanian atas hal-hal seperti itu. Jadi kami bersolidaritas dengan teman-teman BEM UI," kata mahasiswa yang akrab disapa Chaq ini ketika dihubungi Basra, Selasa (29/6).
ADVERTISEMENT
Bahkan, ia meminta kepada Presiden Jokowi untuk konsisten dalam ketika membuat kebijakan dan bertindak. Chaq menyebut, jika masalah yang muncul akhir-akhir ini merupakan permasalah yang sifatnya general atau lingkupnya universal.
"Soal hukum, omnibus law, KPK, dan lain-lain. Itu memang nggak dirasakah secara langsung oleh masyarakat, tapi ketika regulasi atau kebijakan ditekan, dalam selang waktu 1 sampai 5 tahun nanti akan kerasa problem yang terjadi di masyarakat seperti apa. Nah mahasiswa berusaha untuk mengantisipasi agar permasalah itu tidak muncul," jelasnya.
Dengan adanya kritikan yang diberikan, ia berharap pemerintah bisa membuka mata dan telinga atas apa yang disampaikan oleh para mahasiswa.
"Kalau nggak ada masalah nggak mungkin mahasiswa mengkritik. Buat pemerintah dengarkan apa yang jadi aspirasi, masukan, serta perbaiki apa yang memang menurut kita masih keliru," tambahnya.
ADVERTISEMENT
Bahkan, ke depan pihaknya akan mendukung apa yang disuarakan oleh BEM UI. "Secara personal saya kenal baik dengan Leon (Ketua BEM UI). Dia orang yang memang berani dan lantang untuk bersuara dan saya akan terus bersama Leon jika ini menjadi suatu permasalahan," pungkasnya.
Hal senada juga diungkapkan oleh presiden BEM ITS, Nailul Firdaus. Bahkan pihaknya mengecam segala bentuk pembatssan terhadap kebebasan berekspresi, kebebasan berpendapat yang notabene sudah dijamin oleh komstitusi.
"Ketika hal tersebut terjadi, apalagi di lingkungan kampus, yang harusnya memang kampus menjunjung tinggi kebebsan akadamik. Saya pribadi menyayangkan hal tersebut yang terjadi pada BEM UI," kata Nailul pada Basra.
Mahasiwa dari Teknik Lingkungan ITS ini menuturkan, jika kritik yang diangkat oleh BEM UI merupakan akumulasi beberapa hal yang menjadi kritikan dari mahasiswa seluruh Indonesia.
ADVERTISEMENT
"Garis besar yang ingin dikritik adalah perkataan Presiden Jokowi. Pertama bilang A ternyata B. Misalnya ketika bilang akan memperkuat KPK, ternyata banyak penyidik senior, penyidik berkualitas yang disingkirkan," tuturnya.
"Terus kemarin juga ingin di demo di awal jabatannya. Tapi ketika di demo mahasiswa tahun 2019/2020 secara besar-besaran, tapi Presiden Jokowi tidak perhatian akan hal tersebut," tambahnya.
Ia berharap adanya kritikan tersebut, pemerintah dapat mendengarkan suara mahasiswa yang merupakan penyambung lidah masyarakat untuk mau melakukan evaluasi.
"Jika kiranya Presiden Jokowi kurang berkenan digelari 'King of Lips Service', maka harapan kami Presiden bisa betul-betul membuktikan bahwa pernyataan-pernyataannya tempo hari bukan cuma bualan semata. Kedua kami harap kampus dapat menjadi lingkungan yang menjamin kebebasan akademik dan berpendapat, bukan justru mengekang demokrasi. Cukuplah negera ini sakit karena pandemi, jangan sampai demokrasi kita juga sakit," pungkasnya.
ADVERTISEMENT