Sinetron Zahra Jadi Bukti Langgengnya Pernikahan Dini di Indonesia

Konten Media Partner
10 Juni 2021 13:28 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Para pemain sinetron Suara Hati Istri: Zahra. Foto: Instagram
zoom-in-whitePerbesar
Para pemain sinetron Suara Hati Istri: Zahra. Foto: Instagram
ADVERTISEMENT
Baru-baru ini, salah satu sinetron berjudul Suara Hati Istri: Zahra tengah menjadi sorotan publik dan mendapat banyak kritikan. Pasalnya sinetron tersebut secara tidak langsung melanggengkan budaya pernikahan dini dan mempertunjukkan aksi pedofilia.
ADVERTISEMENT
Sinetron tersebut menceritakan poligami yang dilakukan oleh tokoh bernama Pak Tirta yang memiliki tiga istri, dengan istri ketiganya bernama Zahra yang masih berusia remaja.
Tak hanya itu, usia aktris pemeran Zahra yang baru menginjak 15 tahun tengah beradegan dewasa juga menjadi salah satu akar ramainya kritik terhadap sinetron tersebut.
Melihat hal itu, pakar Gender dan Kajian Budaya dari Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga (FIB Unair), Prof. Diah Ariani Arimbi, menilai sinetron Zahra secara tersirat berhasil memancing kesadaran masyarakat bahwa permasalahan pernikahan dini memang masih ada dan terjadi di Indonesia.
Prof. Diah menuturkan, masyarakat perlu melihat bagaimana representasi perkawinan anak yang ditampilkan di dalam cerita itu terlebih dulu sebelum menganggap bahwa sinetron Zahra telah mempromosikan pernikahan dini.
ADVERTISEMENT
Menurutnya, apabila sang tokoh mengalami sedih, depresi, atau tertekan terhadap pernikahannya, maka konsep perkawinan anak terepesentasikan secara negatif dan mengandung pesan agar penonton tidak meniru pernikahan dini yang bersifat merugikan dan mengacaukan masa depan anak.
Pakar Gender dan Kajian Budaya dari Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga (FIB Unair), Prof. Diah Ariani Arimbi.
Sementara itu, apabila sang tokoh justru merasa bahagia maka cerita tersebut merepresentasikan citra positif.
"Namun harus diingat juga kalau perkawinan anak selain menyalahi UU perkawinan untuk batas usia, juga bisa menunjukkan adanya eksploitasi anak," tutur Prof. Diah, Kamis (10/6).
Terkait dengan usia pemain Zahra, Prof. Diah menilai pihak Production House telah mengabaikan UU no 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Di mana perbedaan usia pemain antara Zahra yang masih anak-anak dan Pak Tirta sebagai orang dewasa, bisa berdampak pada perkembangan psikologis anak.
ADVERTISEMENT
Selain itu, adanya adegan romantis antar-keduanya juga menunjukkan adanya relasi kuasa, pemaksaan, dominasi dan subordinasi.
"Adegan semacam itu bisa merepresentasikan eksploitasi terhadap anak-anak yang tidak hanya seksual, tetapi juga eksploitasi lainnya dan bahkan mungkin hubungan yang abusive," jelasnya.
Dengan adanya kritikan tersebut, ke depan sinetron Indonesia mampu menampilkan cerita yang edukatif dan penuh dengan powerful message.
"Kalau memang menceritakan poligami dan perkawinan anak-anak, buatlah se-informatif dan se-edukatif mungkin," pungkasnya.
Diketahui, tak lama setelah sinetron tersebut mendapat banyak kritikan, pihak produksi mengganti pemain Zahra yang sebelumnya diperankan oleh Lea Ciarachel ke Hanna Kirana. Tak hanya itu, judul sinetron pun juga diganti menjadi Istri Impian.